Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuasaan Eksekutif Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia

Written by blog_electrical engineering on Kamis, 29 Mei 2008 at 02.49

Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuasaan Eksekutif Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia (Bagian I)

Dikirim/ditulis pada 15 November 2007 oleh Yed Imran

Oleh : Yed Imran
[Dengan tdk mengurangi rasa hormat redaksi kepada penulis, karena tulisan ini sedikit panjang maka redaksi memecahnya menjadi beberapa bagian]

Pendahuluan
Perbedaan pandangan mengenai lembaga-lembaga negara di Indonesia selalu menjadi topik pembahasan yang menarik, bahkan UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terjadi selama empat dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat kepada lembaga eksekutif. Pada saat itu, posisi presiden sebagai eksekutif dalam sistem presidensiil[1] yang tidak jelas batasan kewenangannya semakin cenderung mendorong kearah yang negatif, yang dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang.

UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam menjalankan tugas pemerintahan. Namun demikian, pemberian wewenang tersebut tidak diikuti dengan batasan-batasan terhadap penggunaannya. Soekarno, mantan presiden pertama RI, dalam rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah “UUD Kilat.”[2] Hal ini dikarenakan mendesaknya keinginan untuk memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu sehingga infrastruktur bagi sebuah negara yang merdeka harus segera disiapkan. Oleh karena itu, hal tersebut menyebabkan UUD 1945 menjadi UUD yang singkat dan sangat multi interpretatif. Pada masa damai dan tenteram, upaya politik untuk mengadakan perubahan terhadap UUD 1945, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 sendiri (Pasal 3 juncto Aturan Peralihan, butir 2), juga tidak diikuti oleh upaya lembaga legislatif untuk membuat ketentuan lebih lanjut terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak banyak pasal dalam UUD 1945 yang telah diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya dan pasal-pasal yang mengatur mengenai wewenang presiden sebagai kepala negara merupakan beberapa diantaranya.

Dalam melaksanakan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945, dimana pada masa awal pemerintahan, kekuasaan Presiden dalam menjalankan pemerintahan bukan hanya sekedar berdasarkan Pasal 4, 5 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 saja, tetapi juga berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan yang berbunyi: “Sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijlankan oleh President dengan bantuan sebuh Komite Nasional”[3]. Sebagai akibat dari ketentuan peralihan tersebut, presiden dengan sah dapat bertindak sebagai dictator karena bantuan Komite Nasional sama sekali tidak dapat diartikan suatu pengekangan atas kekuasaannya.[4]

Kemudian dalam pelaksanaan pada masa orde baru, ternyata kekuasaan-kekuasaan lembaga eksekutif ini telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang sampai saat itu masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya. Hal tersebut dapat disebabkan karena tiga hal, yakni: Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak diikuti dengan mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan perang, dan lain-lain. Kedua, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan sensitivitas dalam tubuh masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya presiden. Ketiga, berkaitan erat dengan yang kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan pada saat ini.

Diskusi dan kajian tentang negara di Indonesia pada umumnya didominasi oleh pendapat kuat yang beranggapan bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Kepercayaan yang tulus pada hal ideal ini mungkin yang mendasari pendapat-pendapat di atas, yang oleh para pejabat negara ini kemudian diturunkan menjadi jargon-jargon "demi kepentingan umum", "pembangunan untuk seluruh masyarakat" dan lain sebagainya. Namun pada kenyataan di lapangan, terjadi banyak hal yang tidak membuktikan anggapan ideal tersebut. Negara yang identik dengan kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, cenderung untuk korup, dalam arti menyimpangi kekuasaanya (abuse of power). Negara ternyata juga memiliki kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri yang terkadang justru merugikan kepentingan umum.

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan politik golongan tertentu yang pragmatis sifatnya atau paling tidak mengeliminasi kepentingan demokratisasi di Indonesia.

Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan presiden yang sangat besar tesebut. Pandangan negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Seluruh hal tersebut, ditambah dengan adanya tuntutan demokratisasi di segala bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa sudah saatnya kekuasaan presiden yang sangat besar harus dibatasi.

Setelah dilakukannya perubahan/amandemen terhadap UUD 1945 oleh MPR dalam era reformasi maka kekuasaan-kekuasaan presiden yang selama beberapa dekade tersebut sangat besar mulai dibatasi. Pembatasan ini dilakukan guna terciptanya suatu prinsip mekanisme checks and balances dalam penyelenggaraan negara sehingga tercerminnya suatu bentuk konsep kedaulatan negara.[5]
Penulisan ini ingin membahas tentang kekuasaan Presiden RI, khususnya kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Kekuasaan sebagai kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan secara berbeda-beda. Padmo Wahjono salah satunya menyatakan kekuasaan presiden sebagai kepala negara secara sempit, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan peraturan perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu lembaga tinggi negara lainnya.[6] Konstitusi sebagai aturan dasar atau pokok dasar dalam berkehidupan di suatu negara memberikan suatu kontribusi sebagai kontrak sosial dalam berketatanegaraan.

Penyerahan kedaulatan oleh rakyat melalui perwakilannya kepada penguasa harus dibuat aturan-aturan main yang jelas sehingga diharapkan penguasa memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan kekuasaannya agar tidak disalahgunakan. Peran saling kontrol dan antar lembaga eksekutif dan legislatif diharapkan membawa sistem presidensiil UUD 1945 lebih menjamin pemerintahan yang stabil.[7] Hukum bukanlah sekedar bunyi aturan. Hukum mencakup juga kenyataan. Bahkan kenyataaan (law in action) dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat formal (law in books).[8]

Arus globalisasi yang kian cepat bergerak menyebabkan ekskalasi kondisi politik, ekonomi, sosial dan lain-lain juga senantiasa berubah mengikuti perkembangan mutakhir. Hal ini juga mewajibkan untuk menyesuaikan ketentuan hukum yang berlaku sehingga tetap berfungsi secara wajarbaik sebagai instrument penjaga ketertiban maupun sebagai pendorong perubahan untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hal ini pun tidak menutup pula terjadinya perubahan dalam sistem ketatanegaraan. Pergeseran kekuasaan antara eksekutif dan legislatif makin terjadi untuk menciptakan tatanan kehidupan bernegara yang demokratis. Makalah ini mencoba berfokus menguraikan kekuasaan lembaga eksekutif. Dengan demikian, dalam makalah ini akan memaparkan dan menganalisis bentuk-bentuk/macam-macam kekuasaan Presiden selain sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Pemerintahan, yang secara normatif didasarkan pada UUD 1945.


Pokok Permasalahan dan Tujuan Penulisan
Sehubungan dengan apa yang telah dijelaskan diatas maka dalam penulisan ini terdapat beberapa permasalahan yang dianggap mendasar bagi pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut, yaitu:
Apa saja macam kekuasaan presiden RI dalam hukum positif Indonesia berdasarkan UUD 1945 pasca amandemen?
Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan kekuasaan tersebut?
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum kekuasaan presiden RI.
Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia.
Mengemukakan rekomendasi terhadap batasan-batasan pelaksanaan kekuasaan presiden RI di masa mendatang.


PEMBAHASAN
Sejak beralihnya suatu rezim dari otoritarianisme ke demokrasi telah mengalami perubahaan tatanan politik yang diformat dalam tatanan yuridis ketatanegaraan maka pada tahap inilah pendekatan yuridis terhadap politik melahirkan hukum tata negara atau yang disebut sebagai hukum konstitusi.[9] Hukum konstitusi merupakan hukum yang mendasari seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.[10] Dengan demikian, politik hukum tentang tatanan bernegara bangsa Indonesia termuat dalam konstitusi sehingga dapat dikatakan bahwa tatanan kehidupan politik yang beradab dan demokratis harus dimulai dan dikonstruksikan dalam konstitusi (everything is started from the letters of constitution).

UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis Negara Republik Indonesia merupakan suatu dokumen hukum dan hukum dasar yang harus dijadikan pegangan dalam prinsip penyelenggaraan bernegara.[11] Sebagai dokumen hukum, UUD 1945 merupakan suatu pernyataan kontrak sosial antara rakyat dengan penguasa. Sedangkan sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan basic rule dalam proses kehidupan berketatanegaraan bagi tiap-tiap lembaga kekuasaan yang menjalankan fungsinya masing-masing menurut prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power). Diantara ketiga lembaga kekuasaan yang menyelenggarakan negara tersebut, terdapat satu lembaga negara yang berfungsi menjalankan pemerintahan yaitu lembaga eksekutif. Lembaga ini lazim dikenal sebagai kepresidenan. Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa yang dimaksud dengan lembaga kepresidenan adalah institusi atau organisasi jabatan yang dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 berisi dua jabatan, yakni Presiden dan Wakil Presiden.[12] Oleh sebab itu, pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensiil.

Sistem presidensiil ini pun sifatnya tidak murni karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Percampuran itu tercermin dalam konsep pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, yang termasuk kedalam pengertian lembaga parlemen. Dengan demikian, UUD 1945 menetapkan adanya fungsi sistem pemisahan kekuasaan sebagai adanya mekanisme kontrol antara kedua lembaga tersebut agar tercipta dan terselenggaranya pemerintahan yang kuat dan stabil.
Bahwa sistem UUD 1945 menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintahan yang kuat dan stabil.
Untuk mencapai maksud tersebut, UUD 1945 menggunakan prinsip-prinsip:[13]

  1. Sistem eksekutif tunggal bukan kolegial. Dengan sistem ini penyelenggaraan dan kendali pemerintahan ada pada satu tangan, yaitu Presiden.[14]
  2. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintahan (chief executive), disamping sebagai kepala negara (head of state).
  3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, melainkan kepada. MPR.[15]
  4. Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (disamping wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat undang-undang).[16] Bahkan dengan alasan kegentingan yang memaksa, Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.[17]
  5. Presiden dapat menolak mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui DPR. Hak tolak ini bersifat mutlak tanpa suatu mekanisme balances. Untuk menunjukan kehendak DPR sebagai perwujudan kedaulataan rakyat adalah yang supreme mestinya disediakan klausula untuk meniadakan penolakan Presiden (Pembatasan telah diatur dalam Perubahan Kedua, Pasal 20 ayat 5).[18]

Dalam praktek, sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan konstitusional Presiden makin kuat karena: Pertama, berkembangnya paham yang memberikan status tersendiri kepada Presiden sebagai Mandataris di samping sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Perkembangan Pemahaman ini didasarkan kepada bunyi Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan Presiden adalah Mandataris MPR.[19] Dengan paham ini, diterima pula pandangan bahwa Presiden bertanggung jawab kepada MPR karena sebagai Mandatarisi MPR. Disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 : “Presiden yang diangkat oleh Majelis.” Paham yang menempatkan mandataris sebagai institusi sendiri merupakan perluasan yang berlebihan. Yang dimaksudkan “mandataris” dalam Penjelasan adalah hanya sekedar menegaskan bahwa Presiden yang dipilih MPR menjalankan fungsi sebagai mandataris atau pemegang mandat MPR, sehingga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Jadi, sebutan mandataris melekat pada jabatan Presiden sebagai penyelenggara pemeritahan, bukan sebagai pranata tersendiri.

Kedua, Presiden dilekati dengan berbagai kewenangan khusus seperti sebagai penyelenggara pembangunan. Dengan ini seolah-olah Presiden mempunyai kualifikasi kewenangan lain selain sebagi penyelenggara pemerintah. Sedangkan penyelenggara pembangunan oleh Pemerintahan (Presiden) tidak lain dari fungsi pemerintahan itu sendiri yaitu menyelenggarakan pemerintahan untuk mewujudkan tujuan membentuk pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[20]

Ketiga, Kedudukan Presiden sebagai pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata (sekarang: TNI dan POLRI) diberi pengertian sebagai kewenangan efektif, bukan sekedar simbolik. Memang terdapat dua pandangan mengenai kedudukan Presiden (kepala negara) sebagai pimpinan teritnggi angkatan perang. Pandangan pertama menganggapnya sebagai bersifat simbolik untuk menunjukan bahwa militer ada di bawah kendali pemerintahan sipil.[21] Pandangan lain mengatakan bahwa kedudukan Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan bersenjata atau angkatan perang tidak hanya simbolik, tetapi efektif. Presiden dengan kuasa sendiri dapat mengerahkan angkatan perang untuk melakukan tindakan tertentu.

Dari uraian di atas terlihat bahwa kuatnya kekuasaan Presiden (pemerintah) dalam penyelenggaraan negara bukan sekedar fakta, melainkan sebagai suatu yang inheren dengan sistem UUD 1945 beserta praktek ketatanegaraannya. Untuk menghindari keadaan “excessive” kekuasaan Presiden yang besar tersebut, dapat dikembangkan beberapa cara sebagai suatu praktek ketatanegaraan, antara lain :

  • Menjadikan BP MPR sebagai badan sehari-hari yang melakukan segala tugas MPR yang tidka sedan bersidang, kecuali wewenang menetapakn perubahan UUD, menetapakan GBHN, dan meminta pertanggungjawaban Presiden. Tugas-tugas pengawasan konstitusional lainnya terhadap Presiden termasuk memperingatkan Presiden mengenai tugas-tugas konstitusionalnya dan berbagai tugas lain dapat dilaksanakan BP MPR. Meskipun DPR mempunyai wewenang pengawasan, pengawasan sehari-hari oleh MPR sendiri mempunyai arti hukum, politik, atau psikologis yang lebih kuat dari DPR, karena Presiden untergeordnet terhadap MPR sehingga ada unsur “atasan dan bawahan”. Sedangkan dengan DPR, Presiden neben. Artinya tidak tunduk dan tidak bertanggung jawab kepada DPR.[22]
  • Penggunaan secara lebih efektif wewenang DPR untuk mengawasi Presiden baik yang bersifat preventif maupun repsesif. Hak-hak kontrol DPR harus dapat digunakan dengan tata cara yang lebih sederhana dan mudah, tidak berbelit-belit yang disertai persyaratan-persyaratan yang tidak mudah diwujudkan. Namun demikian, pelaksanaan fungsi kontrol harus dilakukan dengan memperhatikan bentuk pemerintahan presidensial yang harus stabil, kekuasaan ekslusif Presiden yang dijamin UUD, dan “beleid” sebagai suatu kebebasan bertindak atas dasar “doelmatigheid” dan bukan “rechtmatigheid” belaka.
  • Hak anggaran DPR harus dapat digunakan secara lebih efektif sehingga seluruh aspek penyelenggaraan anggaran diketahui dan tunduk pada kehendak DPR.
  • Menciptakan praktek-praktek Checks and Balances secara lebih luas antara Presiden dengan alat perlengkapan negara lainnya. Hal ini dapat dilakukan antara lain :
    a) Lebih mengefektifkan fungsi badan peradilan untuk menguji segala peraturan perundang-undangan, keputusan, atau tindakan pemerintahan terhadap UUD.
    b) Lebih mengefektifkan DPA dengan mensyaratkan kewajiban Pemerintah untuk berkonsultasi dengan DPA sebelum suatu keputusan atau tindakan tertentu ditetapkan[23] (DPA ditiadakan berdasarkan perubahan keempat UUD 1945)
    c) Hasil pemeriksaan BPK tidak hanya sebagai naskah untuk disampaikan kepada DPR atau kepada Presiden, tetapi dapat secara langsung diteruskan kepada pihak yang berwenang agar diadakan penyidikan dan penuntutan apaabila menemukan tindakan di bidang keuangan yang dapat dipidana atau dapat dikenai suatu tindakan administrasi.[24]

Lihat :
Bagian Ke II Tulisan Ini
Bagian Ke III Tulisan Ini (blm diupload)

ENDNOTE:
[1] Dalam sistem presidensiil, kedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintah merupakan kedudukan yang menyatu dalam jabatan Presiden.

[2] Harun Alrasid, “Membangun Indonesia Baru dengan Undang-undang Dasar Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima)” dalam Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, (Jakarta: UI Press, 2004), hal. 153.
[3] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 112.

[4] A.K. Pringgodigdo, Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-undang Dasar Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Pembangunan, 1956), hal. 11.
[5] Prinsip Checks and Balances merupakan implikasi diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) antar tiga cabang kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk saling mengawasi, mengontrol dan mengimbangi secara sederajat satu sama lain.
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 73 dan 235.
[6] Padmo Wahyono, “Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan Atas Hukum” dalam Politik Hukum Tata Negara Indonesia, diedit oleh Hendra Nurtjahjo, (Jakarta: PSHTN UI, 2004), hal. 88.

[7] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), hal. 6.

[8] Ibid., hal. 9.
[9] Hendra Nurtjahjo, Politik Hukum Tata Negara Indonesia, (Depok: PSHTN UI, 2004), hal. ix.

[10] Ibid., hal. x.

[11] Konstitusi dapat dikatakan hukum dasar yang tertulis yang lazim disebut UUD dan dapat pula tidak tertulis. Menurut Jimly Asshiddiqie, UUD sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan Negara sehari-hari, termasuk kedalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitustionel) suatu Negara.
Baca Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), hal. 35.
[12] Jimly Asshidiqqie, ibid., hal. 209.

[13] Kesepakatan dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensiil bertujuan untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh Negara Republik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun 1945. Lihat Ni’matul Huda, op.cit., hal. 145.

[14] Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 ayat (1).
[15] Berdasarkan perubahan ketiga, President tidak bertanggung jawab baik kepada DPR maupun MPR. Ketentuan ini akan lebih memperkuat kedudukan Presiden.

[16]Indonesia, UUD 1945, Pasal 5 jo Perubahan Pertama, 1999.

[17] Ibid., Pasal 22.

[18] Ibid., Pasal 21 jo. Perubahan Kedua, 2001.

[19] Lihat Penjelasan UUD 1945 : “Ia ialah ‘Mandataris’ dari Mejelis”

[20] Lihat TAP Nomor VI/MPR/1983 jo.
TAP MPR Nomor V/MPR/1998, dan TAP MPR No. XIII/MPR/1998.

[21] Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru hubungan Sipiul-Militer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005), hal. 98 dan 109.

[22] Dengan perubahan hubungan antara Presiden dan MPR akibat perubahan UUD 1945, pandangan ini tidak lagi relevan, kecuali dalam rangka mencegah Presiden dan Wakil Presiden melakukan pelanggaran sebagaimana ditentukan Pasal 7 A UUD 1945.
[23] Berdasarkan perubahan keempat UUD 1945 maka DPA ditiadakan.

[24] Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1973, menyebutkan “Apabila suatu pemeriksaan mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara, maka Badan Pemeriksaan Keuangan memberitahukan persoalan tersebut kepada Pemerintah.”

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Memahami Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam “Jurnal Legislasi Indonesia” Vol 1, No. 2 September 2004.
Alrasid, Harun. “Membangun Indonesia Baru dengan Undang-undang Dasar Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima)” dalam Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR. Jakarta: UI Press, 2004.
Amerika Serikat. The Constitution of the United States 1789.
Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Arinanto, Satya. “Perubahan Undang-undang Dasar 1945,” makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Tinjauan Kritis Terhadap Perubahan Keempat UUD 1945 yang diselenggarakan FH Universitas Trisakti, Jakarta, 15 Agustus 2002.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
_______. “Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif” dalam Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Diedit oleh Zainal A.M Husein, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
_______. “Pembentukan dan Pembuatan Hukum” dalam Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Diedit oleh Zainal A.M Husein. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______. Kapita Selekta Teori Hukum: Kumpulan Tulisan Tersebar, (Jakarta: FHUI, 2004
Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Departemen Hukum dan HAM. Terjemahan Konstitusi Negara Asing. Jakarta: Depkeh & HAM, 2004.
Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI: Perspektif Baru hubungan Sipiul-Militer di Indonesia.
Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005.
Dicey, A.V. An Introduction to the Study of The Law of The Constitution. ELBS, 1968.
Finer, Herman. The Major Government of Modern Europe. Harper & Row, 1962.
Haque, Rodd dan Martin Harrop, Comperative Government and Polities. Mac Millan, 1987.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia. Undang-undang tentang Perjanjian Internasional. UU No. 24 Tahun 2000. LN Tahun 2000 No. 185. TLN No. 4012.

Indonesia. Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No. 53. TLN. 4389.

Kusumaatmadja, Mochtar.
Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina Cipta, 1990.
Manan, Bagir. Kekuasaan Presiden. Yogyakarta: FH UII Press, 2004.
______. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2004.
Morris, Clarence. (ed), the Great Legal Philosopheres. Pennsylvania: University of Pennsylvania Press, 1979.
Nurtjahjo, Hendra. Politik Hukum Tata Negara Indonesia. Depok: PSHTN UI, 2004
Pringgodigdo, A.K. Kedudukan President Menurut Tiga Undang-undang Dasar Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Pembangunan, 1956.
The Netherlands, The Netherlands Constitution.
Thomson, Brian. Constitusional & Administrative Law. Blackstone Press Limited, 1995.
U.S. Information Service Agency. An Outline of American Government. Washington: U.S. ISA, 1980.
Wahyono, Padmo. “Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan Atas Hukum” dalam Politik Hukum Tata Negara Indonesia, diedit oleh Hendra Nurtjahjo. Jakarta: PSHTN UI, 2004.
_______. Ilmu Negara: Kuliah-kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Disusun oleh Teuku Amir Hamzah, dkk. Jakarta: Indo Hill-Co, 2003.


[Penulis adalah alumnus Magister Hukum Universitas Indonesia dan pemerhati hukum pada Indonesia Future Institute/I.F.I (s_1mr4n@yahoo.com) ]

http://www.mission-indonesia.org/modules/article.php?articleid=21&lang=en

Wednesday, June 22 2005
PEMERINTAHAN

Profil Negara

Ketika pecahnya PD II di Eropa yang menyebar hingga ke pasifik, Jepang berhasil menduduki Hidia Timur Belanda pada Maret 1942, setelah menyerahnya tentara kolonial Belanda mengikuti jatuhnya Hongkong, Manila, dan Singapura.

Pada 1 April 1945 pasukan amerika mendarat di Okinawa. Kemudian pada 6 dan 9 agustus Amerika Serikat menjatuhkan bom atom ke atas dua kota di Jepang, hiroshima dan nagasaki. Sekian hari kemudian pada 14 agustus 1945, Jepang menyerah kepada tentara sekutu.

Peristiwa tersebut membuka peluang bagi rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Tiga hari setelah menyerahnya Jepang secara mutlak, pada 17 agustus 1945 pemimpin nasional Indonesia Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di hadapan rakyat.

Proklamasi mengambil tempat pada Jalan Pegangsaan Timur 58 Jakarta, didengar oleh ribuan rakyat Indonesia di seluruh negeri karena teks tersebut disiarkan secara rahasia oleh operator radio Indonesia menggunakan pemancar milik stasion radio Jepang, Jakarta Hoso Kyoku. Terjemahan proklamasi dalam bahasa Inggris juga disiarkan ke luar negeri.

Dasar (Falsafah) Negara

Pancasila adalah falsafah dasar negara Indonesia. Pancasila terdiri dari dua kata sansekerta, Panca berarti lima, dan sila memiliki arti prinsip. Pancasila mengandung lima dasar yang tidak terpisahkan dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Mereka adalah:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
  5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Undang Undang Dasar 1945

Konstitusi Republik Indonesia selalu merujuk kepada Undang Undang Dasar 1945. Hal ini disebabkan karena konstitusi negara disusun dan diadaptasi pada tahun 1945 ketika pendirian republik, dan secara jelas membedakannya dari konstituso lainnya yang diperkenalkan bebas di Indonesia. Lebih lanjut, muatan danri UUD 1945 menuliskan jelas tujuan dan sasaran untuk kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan mempertahankannya di kemudian hari. Hal ini merefeleksikan semangat dan kekuatan masa tersebut ketika merancang konstitusi. Ini menginspirasikan urgensi untuk persatuan dan kesamaan tujuan serta demokrasi yang dibangun atas konsep warisan Indonesia dalam gotong-royong dan musyawarah mencapai mufakat.

Diawali dengan sebuah pembukaan, undang undang dasar republik indonesia terdiri atas 37 pasal, empat aturan peralihan dan dua peraturan tambahan.

Pembukaan disusun dalam empat paragraf dan mengandung sebuah kutukan terhadap segala bentuk penjajahan di dunia, sebuah keterangan perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan, sebuah deklarasi kemerdekaan dan pernyataan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dasar negara. Selanjutnya juga menyatakan bahwa kemerdekaan nasional Indonesia didirikan ke dalam sebuah negara kesatuan Republik Indonesia dengan kekuasaan berada di tangan rakyat. Negara miliki dasar falsafah hidup sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dibimbing oleh falsafah fundamental tersebut, tujuan dasar negara adalah mewujudkan sebuah pemerintahan Indonesia yang melindungi seluruh rakyat dan bumi pertiwi Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan kehidupan intelektualitas negara dan berkontribusi mewujudkan sebuah tata dunia yang berdasar kepada kemerdekaan, kedamaian dan keadilan sosial.

Amandemen UUD 1945

Sejak era reformasi, UUD 1945 mengalami beberapa amandemen, tambahan dan penyempurnaan sebanyak empat kali pada sidang tahunan MPR tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Amandemen berdasarkan meliputi sekian tema yang di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Kekuasaan
    Konstitusi UUD 1945 sejak awal menganut sebuah ideologi yang menyatakan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat dan didelegasikan secara mutlak oleh Majelis Pertimbangan Rakyat. Hal ini menganut sebuah ideologi kekuasaan MPR, menjadikan MPR menjadi sebuah institusi negara yang memiliki kewenangan tidak terbatas karena MPR menjadi sebuah Institusi yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Kebesaran dan kekuasaan tanpa batas ini menyebabkan MPR menjadi tidak bisa dikontrol oleh Institusi negara manapun. Hal ini menyebabkan MPR menjadi sebuah organ terhebat institusi kenegaraan yang dalam tatanan institusi kenegaraan pemerintahan republik indonesia dan diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara. Menyikapi era perubahan, pandangan-pandangan UUD 1945 yang asli tidak lagi cocok terhadap ideologi demokrasi yang membutuhkan implementasi sistem kontrol dan keseimbangan di antara institusi internal negara. Untuk itu, keputusan pasal 2 ayat 1 diubah menjadi kekuasaan di tangan rakyat dan didelegasikan menurut konstitusi.
  2. Struktur dan kewenangan anggota Majelis Pemusyawaratan Rakyat
    Sebelum amandemen, struktur keanggotaan MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) termasuk utusan Militer dan Polisi Indonesia, Utusan Daerah (UD), dan Utusan Golongan (UG). Anggota DPR dipilih dalam pemilihan umum, sementara UD dan UG adalah hasil undangan. Undangan terhadap seluruh anggota MPR dirasakan tidak sesuai dengan pembelajaran dan semangat demokrasi, oleh sebab itu formulasinya dirubah dengan penyesuaian bahwa seluruh anggota MPR harus dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Dengan amandemen ini, struktur keanggotaan MPR meliputi anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah, sebuah institusi perwakilan baru dalam tatanan kenegaraan republik indonesia
  3. Kewenangan Presiden
    UUD 1945 menganut prinsip pemerintahan presidentil. Baik dalam hal teori maupun praktek ketatanegaraan dalam pemerintahan mengikuti sistem pemerintahan presidentil menurut konstitsui tersebut, presiden memiliki kekuasaan dan peran yang besar dan penting. Itulah yang terjadi di Indonesia. Oleh sebab itu, sangat logis bila cukup banyak artikel yang terkait terhadap otoritas kepresidenan dalam UUD 1945, yang tersebar dalam berbagai macam pasal dan ayat, terutama yang berkaitan terhadap keuasaan mulai dari mengumumkan perang hingga mengabulkan permohonan maaf.
  4. Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden oleh rakyat
    Sejak berdirinya Republik Indonesia, pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan oleh MPR dengan sebuah mekanisme perwakilan tidak langsung. Sehubungan dengan semangat demokrasi yang menyaratkan bawah rakyat diberikan hak untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, sehingga sistem pemilihan oleh MPR hari diganti menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat.Jika kondisi pada putaran pertama pemilu tidak terpenuhi, putaran kedua dilaksanakan dengan mencalonkan pasangan dengan suara terbanyak nomor urut satu dan nomor dua pada putaran pertama. Pasangan yang mendapatkan suara terbanyak akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
  1. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
    Sebelum diamandemen, formulasi masa jabatan presiden dan wakil presiden di dalam UUD 45 tidak secara tegas atai kongkrit mengatur freukuensi masa jabatan. Konsekuensinya, hal ini membuka kesempatan untuk berbagai macam interpretasi. UUD 1945 yang diamandemen mengatur bahwa presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa berikutnya. Hal ini mengartikan bahwa warga negara Indonesia hanya dapat dipiluh sebagai presiden dan wakil presiden untuk 10 tahun masa jabatan.
  2. Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatan
    Selama ini tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang mengatur pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dari jabatan mereka. UUD hanya menetapkan sebuah pasal terhadap pertanggungjawaban presiden sebelum sidang luar biasa MPR yang didasari dengan undangan dari DPR.
    Hal ini dijalankan bila DPR merasa presiden benar-benar melakukan pelanggaran terhadap garis besar haluan negara.
    Saat ini UUD 1945 yang telah diamandemen memuat faktor-faktor dan prosedur-prosedur resmi yang menyebabkan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dari jabatannya.
  3. Pengantian Presiden di tengah masa jabatan oleh Wakil Presiden
    Menurut UUD 1945, posisi wakil presiden adalah untuk membantu presiden menjalankan tugasnya. Posisi tersebut menjadikan wakil presiden secara otomatis menggantikan presiden hingga akhir masa jabatannya bila presiden meninggal, mengundurkan diri, atau tidak mampu menjalankan tugasnya selama masa jabatannya.
  4. Pelaksana tugas kepresidenan
    Meskipun tidak mungkin, terdapat juga kemungkinan lain pada kondisi darurat yang disebabkan oleh, misalnya, presiden dan wakil presiden meninggal secara bersamaan, mengundurkan diri, dan diturunkan atau tidak mampu menjalankan kewajibannya selama masa jabatannya. Dalam konsisi ini, pengambil kebijakan yang memiliki legal formal yang kokoh amat dibutuhkan.Mengantisipasi kasus-kasus seperti ini UUD 1945 yang telah diamandemen, menetapkan bahwa dalam kondisi demikian maka pelaksana tugas-tugas kepresidenan terdiri dari tiga anggota kabinet yaitu: Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan.
  1. Pembentukan Dewan Penasihat Presiden dan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung
    Keberadaan DPA sebagai sebuah lembaga negara, dahulu adalah setara dengan presiden dan memiliki tugas memberikan masukan dan pertimbangan ke presiden yang pada akhirnya dinilai kurang effektiv dan effisien. Hal tersebut karena masukan dan pertimbangan yang diberikan ke presiden bersifat tidak mengikat.Berdasarkan pertimbangan tersebut, UUD 1945 yang diamandemen menghapus keberadaan DPA. Menggantikan hal tersebut konstitusi yang baru memberikan wewenang ke presiden untuk membentuk dewan penasihat yang memiliki tugas memberikan masukan dan pertimbangna ke presiden.
  1. Menteri negara
    Sebagai konstitusi yang menganut ideologi sistem pemerintahan presidentil, UUD 1945 yang diamandemen menegaskan bahwa menteri-menteri negara, yang dipilih dan ditugaskan oleh presiden, adalah pembantu presiden.
  2. Pemerintahan daerah
    Daerah diberikan kebebasan dan wewenang untuk memanfaatkan dan mengatur sumber daya alam yang dimiliki, dengan produk perundang-undangan yang dapat meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan daerah. Otonomi daerah dijalankan dan terwujud di bawah negara kesatuan Republik Indonesia.Konstitusi baru yang telah diamandemen juga mengatur pengakuan negara serta penghormatan terhadap unit administrasi daerah, yang memiliki status khusus dan istimewa.
  1. Dewan Perwakilan Daerah
    UUD 1945 yang diamandemen memperkenalkan sebuah institusi perwakilan baru dalam struktur pemerintahan Indonesia. Institusi tersebut adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti tertuang dalam pasal VII A bertajuk DPD.

Bendera Nasional

Bendera nasional Indonesia adalah “Sang Saka Merah Putih”. Bendera itu terdiri dari dua warna, merah di atas warna putih. Dimana lebarnya adalah dua pertiga dari panjangnya, atau dua meter dan tiga meter. Dikibarkan di depan istana kepresidenan, gedung-gedung pemerintahan dan kantor perwakilan Indonesia dan di luar negeri. Bendera pertama berkibar gagah pertama kalinya di tengah-tengah penjajahan Jepang pada upaca hari kemerdekaan di depan istana kepresidenan di ibukota Jakarta. Bendera bersejarah ini, atau “bendera pusaka”, dikibarkan terakhir kalinya pada 17 Agustus 1968. Sejak itu bendera tersebut disimpan dan digantikan oleh sebuah replika yang dirajut dari sutera asli Indonesia.

Lambang Negara

Lambang negara Indonesia adalah sebuah elang emas, disebut juga dengan “garuda” yang merupakan sebuah figur epik Indonesia kuno. Lambang ini juga digambarkan dalam banyak candi-candi dari abad ke 6. Elang adalah sebuah simbol energi yang kreativ. Warna dasarnya adalah emas, mewatakkan kehebatan sebuah bangsa. Warna hitam mewakili alam. Terdapat 17 helai pada setiap sayapnya, 8 helai pada ekor dan 45 pada bulu leher. Hal ini menujukkan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia: 17 Agustus 1945. Semboyan, “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tapi satu jua), ini tertulis pada pita yang digenggam oleh cakar garuda.

Lagu Kebangsaan

Lagu kebangsaan Indonesia adalah “Indonesia Raya”. Lagu ini dikarang pada tahun 1928.

Kelahiran Indonesia Raya menandai permulaan gerakan nasionalis Indonesia. Lagu ini diperkenalkan pertama kalinya oleh sang pengarang, Wage Rudolf Supratman, pada Kongres Pemuda Indonesia kedua pada 28 oktober 1928 di Batavia, sekarang Jakarta.


http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi11/11berita_4.html

Pembatasan Kekuasaan Presiden RI:
Kajian Terhadap Mekanisme Pelaksanaan Kekuasaan Presiden RI Dalam Hukum Positif Indonesia

Oleh: Tim Bidang Hukum Masyarakat Transparansi Indonesia

Pengantar

Kajian tentang negara di Indonesia umumnya didominasi dengan anggapan bahwa: negara merupakan lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat dan mengabdi pada kepentingan umum. Namun faktanya, terjadi banyak penyimpangan dari anggapan ideal tersebut. Negara yang identik dengan kekuasaan, cenderung untuk korup, dalam arti terjadi penyimpangan kekuasaan (abuse of power), dan negara juga mempunyai kepentingan dan tujuan sendiri yang terkadang merugikan kepentingan umum.

Terpusatnya kekuasaan pada satu orang dengan segala implikasi negatifnya yang terjadi di Indonesia, akibat tidak terkontrolnya kekuasaan negara. Hal ini mengharuskan bangsa Indonesia untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan presiden yang amat besar tersebut. Pandangan tentang negara netral yang biasa melegitimasi konsep tersebut juga tak bisa dipakai lagi untuk menjawab kenyataan empiris yang terjadi di negara ini, serta tuntutan demokratisasi di segala bidang yang sudah tidak bisa ditahan lagi.

Tim kerja Bidang Hukum MTI menganalisa permasalahan yang dianggap mendasar bagi pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut. Analisa dilakukan berdasarkan metode penelitian kepustakaan. Kajian ini merupakan ringkasan dari hasil penelitian Tim Kajian Hukum MTI tersebut dan akan disajikan secara berseri.

UUD 1945 menganut sistem pemerintahan yang memberikan kewenangan eksekutif kepada Presiden. Kewenangan ini diperoleh setelah menerima mandat dari lembaga yang memilihnya, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Presiden bertanggung jawab kepada konstitusi dan pemilihnya baik langsung maupun tidak langsung.

Menurut UUD 1945, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dapat menjatuhkan Presiden, dan Presiden tidak dapat membubarkan DPR. MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden jika ia melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan UUD 1945. Presiden adalah eksekutif tunggal. Presiden pula yang bertanggung jawab atas segala pelaksanaan pemerintahan. Dalam menjalankan tugasnya, Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan bertanggung jawab kepadanya, sehingga para menteri itu tidak bertanggung jawab kepada DPR. Dengan kriteria tersebut, maka sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem presidensial.

Redefinisi Kekuasaan Presiden RI

Kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut dengan istilah "hak prerogatif Presiden" dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain.

Secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya (terutama bagi sistem yang menganut pemisahan kekuasaan secara tegas, seperti Amerika Serikat), seperti membuat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi.

Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam prakteknya sulit mendapat tempat. Sehingga, dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang ketatanegaraan tidak pernah menyatakan istilah hak prerogatif Presiden. Namun dalam prakteknya, selama orde baru, hak ini dilakukan secara nyata, misalnya dalam hal pengangkatan menteri-menteri departemen. Hak ini juga dipadankan terutama dalam istilah Presiden sebagai kepala negara yang sering dinyatakan dalam pengangkatan pejabat negara. Dalam hal ini Padmo Wahjono menyatakan pendapatnyayang akhirnyamemberikan kesimpulan bahwa hak prerogatif yang selama ini disalahpahami adalah hak administratif Presiden yang merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak berarti lepas dari kontrol lembaga negara lain.

Bentuk kekuasaan Presiden di Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Kekuasaan Kepala Negara. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Di Indonesia, kekuasaan Presiden sebagai kepala negara diatur dalam UUD 1945 Pasal 10 sampai 15. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara di masa mendatang selayaknya diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari kontrol lembaga lain.

Kekuasaan Kepala Pemerintahan. Kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan pemerintahan sama dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan dan pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap besar dan mendapat pengawasan dari badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam UUD 1945, fungsi pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh DPR.

Kekuasaan Legislatif. UUD 1945 menetapkan fungsi legislatif dijalankan oleh Presiden bersama dengan DPR. Presiden adalah "partner" DPR dalam menjalankan fungsi legislatif. Dalam kenyataannya, Presiden mempunyai kekuasaan yang lebih menonjol dari DPR dalam hal pembentukan undang-undang, karena penetapan akhir dari suatu undang-undang yang akan diberlakukan ada di tangan Presiden. Produk undang-undang yang dikeluarkan orde baru lebih memihak kekuasaan daripada kehendak rakyat Indonesia. Oleh karena itu sistem check and balance mendesak untuk diterapkan dengan mekanisme yang jelas. Bila ada pertentangan antara Presiden dan DPR dalam hal persetujuan suatu undang-undang, maka Presiden harus menyatakan secara terbuka dan menggunakna hak vetonya. Dengan demikian, di akhir masa jabatannya masing-masing lembaga dapat diminta pertanggungjawabannya baik di sidang umum maupun dalam pemilihan umum.

Analisa Mekanisme Pelaksanaan Kekuasaan Presiden

Dalam mengajukan rekomendasi mekanisme pelaksanaan kekuasaan Presiden di masa mendatang, kajian ini menggunakan beberapa mekanisme yang efektif yang ditujukan untuk kebutuhan check and balance, yaitu :

Konsultasi. Presiden wajib meminta saran dan nasehat dari lembaga-lembaga terkait termasuk di antaranya DPR untuk mendapat usulan. Hasil konsultasi ini dijadikan pertimbangan utama untuk memutuskan hasil kebijakan akhir.

Hearing. Presiden wajib mengadakan dengar pendapat secara terbuka di DPR untuk mendapatkan pertimbangan dan penilaian atas suatu kebijakan tertentu. Proses ini dapat dijadikan bahan untuk rumusan ususlan dari DPR kepada Presiden yang disampaikan secara terbuka pula. Mekanisme ini dapat berjalan bersamaan dengan hak interpelasi DPR.

Hak veto. Dimiliki oleh Presiden untuk menyatakan secara terbuka ketidaksetujuannya atas kebijakan yang diambil lembaga lain. Hak ini dapat menyebabkan kebijakan tersebut tidak berlaku.

Penetapan seremonial. Tindakan Presiden untuk mengesahkan dan/ atau melantik suatu kebijakan final yang dihasilkan oleh lembaga lain.

Kategori Kekuasaan Presiden

Kekuasaan Presiden RI dinyatakan secara eksplisit sebanyak 24 bentuk dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan mekanisme pelaksanaannya, bentuk kekuasaan tersebut dikategorikan sebagai berikut :

Kekuasaan Presiden Yang Mandiri. Kekuasaan yang tidak diatur mekanisme pelaksanaannya secara jelas, tertutup atau yang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Yang termasuk kekuasaan ini adalah :

  1. Kekuasaan tertinggi atas AD, AL, AU dan Kepolisian Negara RI
  2. Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya
  3. Kekuasaan mengangkat duta dan konsul
  4. Kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945
  5. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
  6. Kekuasaan mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU inisiatif DPR
  7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung RI
  8. Kekuasaan mengangkat Panglima ABRI
  9. Kekuasaan mengangkat LPND

Mekanisme yang paling baik adalah mengadakan hearing terlebih dahulu di DPR.

Kekuasaan Presiden Dengan Persetujuan DPR. Yang termasuk dalam kekuasaan ini adalah :

  1. Kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian
  2. Kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain
  3. Kekuasaan membentuk undang-undang
  4. Kekuasaan menetapkn PERPU
  5. Kekuasaan menetapkan APBN

Sebelum melaksanakan kekuasaan tersebut, Presiden memerlukan persetujuan DPR terlebih dahulu. Sebagai contoh, jika DPR menganggap penting suatu perjanjian, maka harus mendapat persetujuan DPR. Jika perjanjian dianggap kurang penting oleh DPR dan secara teknis tidak efisien bila harus mendapat persetujuannya terlebih dahulu, dapat dilakukan dengan persetujuan Presiden. Hal ini dilakukan untuk menghindari terulangnya peminggiran peranan wakil rakyat dalam peranannya menentukan arah kebijakan politik negara.

Kekuasaan Presiden dengan konsultasi. Kekuasaan tersebut adalah :

  1. Kekuasaan memberi grasi
  2. Kekuasaan memberi amnesti dan abolisi
  3. Kekuasaan memberi rehabilitasi
  4. Kekuasaan memberi gelaran
  5. Kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya
  6. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah
  7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim
  8. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Hakim Agung, ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Anggota MA
  9. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPA
  10. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan anggota BPK
  11. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Wakil jaksa agung dan jaksa agung Muda
  12. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Kepala Daerah Tingkat I
  13. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Panitera dan Wakil Panitera MA
  14. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen, Irjen, dan Dirjen departemen
  15. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen DPA
  16. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen BPK
  17. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota MPR yang diangkat
  18. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota DPR yang diangkat
  19. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Gubernur dan Direksi Bank Indonesia
  20. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Rektor
  21. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Deputi-deputi atau jabatan yang setingkat dengan deputi LPND

Sebagai contoh, kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya. Di masa datang, Presiden harus mendapat usulan atau pertimbangan dulu dari Dewan Tanda-tanda Kehormatan, dan Presiden dengan sungguh-sungguh memperhatikan pertimbangan atau usulan tersebut.


Catatan:

Disamping itu di dalam penjelasan pasal 10,11,12,13,14 dan 15 disebutkan bahwa kekuasaan Presiden di dalam pasal-pasal tersebut adalah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. kEkuasaan ini lazim disebut pula sebagai kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan, maupun advis dari suatu lembaga tinggi negara lainnya. Jadi, bukan kewenangan khusus (hak prerogatif) yang mandiri."

0 Responses to "Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuasaan Eksekutif Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia"

About the author

This is the area where you will put in information about who you are, your experience blogging, and what your blog is about. You aren't limited, however, to just putting a biography. You can put whatever you please.