CAPRES/CAWAPRES DAN EKONOMI RAKYAT

Written by blog_electrical engineering on Kamis, 29 Mei 2008 at 02.48

http://www.ekonomirakyat.org/edisi_22/artikel_4.htm

Artikel - Ekonomi Rakyat dan Reformasi Kebijakan - Juli 2004]

Mubyarto

CAPRES/CAWAPRES DAN EKONOMI RAKYAT

Pendahuluan

Menyimak secara serius pernyataan-pernyataan para Capres/Cawapres di media elektronik tentang program-program ekonomi yang dijanjikan kepada rakyat untuk dilaksanakan, jika mereka terpilih, dengan segala maaf saya harus menyatakan sangat prihatin. Pada umumnya para Capres/Cawapres belum memahami benar apa itu ekonomi rakyat, dan karena belum jelas pemahaman mereka mengenai ekonomi rakyat, maka sulit diharapkan dapat dirumuskannya program-program kongkrit bagaimana mengembangkannya, dan yang sangat sering diucapkan bagaimana memberdayakannya.

Yang lebih sering kita dengar justru bukan konsep tentang ekonomi rakyat, tetapi ekonomi kerakyatan, yang menurut mereka harus diberdayakan juga. Maka mereka dengan bersemangat menyatakan akan menyusun dan melaksanakan program pemberdayaan ekonomi kerakyatan padahal ekonomi kerakyatan sebagaimana tercantum jelas dalam Propenas (UU No. 25/2000) adalah sistem ekonomi. Sistem ekonomi dapat dikembangkan dan yang jelas dilaksanakan, tidak diberdayakan, karena yang diberdayakan adalah orangnya, pelakunya, yaitu ekonomi rakyat.

Tentang Ekonomi Rakyat

Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:

Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)

Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang artinya tidak lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:

Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.

Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Memang sangat disayangkan bahwa penjelasan tentang demokrasi ekonomi ini sekarang sudah tidak ada lagi karena seluruh penjelasan UUD 1945 diputuskan MPR untuk dihilangkan dengan alasan naif, yang sulit kita terima, yaitu “di negara-negara lain tidak ada UUD atau konstitusi yang memakai penjelasan”.

Bagaimana memberdayakan ekonomi rakyat

Jika kini telah diyakini bahwa yang harus diberdayakan adalah ekonomi rakyat bukan ekonomi kerakyatan, maka pertanyaan lugas yang dapat diajukan adalah bagaimana (cara) memberdayakan ekonomi rakyat.

Jika ekonomi rakyat dewasa ini masih “tidak berdaya”, maka harus kita teliti secara mendalam mengapa tidak berdaya, atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidakberdayaan pelaku-pelaku ekonomi rakyat itu. Untuk menjawab pertanyaan inilah kutipan pernyataan Bung Karno di atas sangat membantu, yaitu ekonomi rakyat menjadi kerdil, terdesak, dan padam, karena sengaja disempitkan, didesak, dan dipadamkan oleh pemerintah penjajah melalui sistem monopoli, dan (sistem) monopoli ini dipegang langsung oleh pemerintah, atau diciptakan pemerintah dan diberikan kepada segelintir perusahaan-perusahaan konglomerat. Dari keuntungan besar yang diperolehnya kemudian konglomerat memberikan “bagi hasil” kepada pemerintah atau lebih buruk lagi kepada “oknum-oknum pejabat pemerintah”. Inilah salah satu bentuk korupsi melalui koneksi dan nepotisme yang kemudian disebut dengan nama KKN.

Cara yang paling mudah memberdayakan ekonomi rakyat adalah menghapuskan sistem monopoli, yang pernah “disembunyikan” dengan nama sistem tata niaga. Misalnya tataniaga jeruk Kalbar atau tataniaga cengkeh Sulut. Padahal yang dimaksudkan jelas sistem monopoli yang pemegang monopolinya ditunjuk pemerintah yaitu BPPC untuk cengkeh dan Puskud untuk Jeruk Kalbar. Itulah yang pernah kami katakan bahwa “di Indonesia pernghapusan monopoli tidak memerlukan UU Anti Monopoli seperti di AS tetapi jauh lebih mudah dan lebih sederhana yaitu dengan menerbitkan sebuah SK (Surat Keputusan) dari Presiden atau Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk mencabut monopoli yang sebelumnya memang telah diberikan pemerintah”.

Cara lain yang juga sudah sering kami anjurkan adalah pemberdayaan melalui pemihakan pemerintah. Jika pemerintah bertekad memberdayakan petani padi atau petani tebu misalnya, pemerintah harus berpihak kepada petani. Berpihak kepada petani berarti pemerintah tidak lagi berpihak pada konglomerat seperti dalam kasus jeruk dan cengkeh, yang berarti petani jeruk dan petani cengkeh memperoleh “kebebasan” untuk menjual kepada siapa saja yang mampu memberikan harga terbaik.

Khusus dalam kasus petani padi, yang terpukul karena harga pasar gabah dibiarkan merosot di bawah harga dasar, keberpihakan pemerintah jelas harus berupa pembelian langsung gabah “dengan dana tak terbatas” sampai harga gabah terangkat naik melebihi harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah.

Demikian pemberdayaan dan pemihakan pada ekonomi rakyat sangat mudah pelaksanaannya kalau kita terapkan langsung pada ekonomi rakyat, bukan pada ekonomi kerakyatan, yang terakhir ini berarti sistem atau aturan main, yang tidak dapat diberdayakan.

Dengan digantinya oleh pemerintah istilah ekonomi rakyat dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang sebenarnya sekedar menterjemahkan istilah asing SME (Small and Medium Enterprises), yang tidak mencakup 40 juta usaha mikro (93% dari seluruh unit usaha), maka segala pembahasan tentang upaya pemberdayaan ekonomi rakyat tidak akan mengena pada sasaran, dan akan menjadi slogan kosong.

Bahkan ada Capres/Cawapres yang secara sangat keliru menyamakan sektor ekonomi rakyat dengan sektor informal, yang hanya diartikan sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang tidak berbadan hukum yang selalu “melanggar hukum” sehingga harus “ditindak”. Dan dengan definisi ini kemudian diajukan program pemberdayaan sektor “UKM” dengan secepatnya menjadikan atau “mentransformasi” sektor informal menjadi sektor formal. Jelas usulan program seperti ini tidak masuk akal dan menunjukkan ketidakpahaman Capres/Cawapres yang bersangkutan tentang ekonomi rakyat yang menyangkut hajat hidup 160 juta orang Indonesia yang sebenarnya sudah jauh lebih tua dibanding sektor formal, sektor informal sebaiknya justru yang disebut sektor formal.

Penutup

Tidak terlalu sulit bagi para Capres/Cawapres untuk mengkampanyekan program-program yang benar-benar dapat memberdayakan ekonomi rakyat asal pengertian ekonomi rakyat dipahami secara benar. Ekonomi rakyat adalah ekonominya wong cilik yang telah tergeser, terjepit, dan tersingkir, ketika pemerintah Orde Baru memprioritaskan kebijakan, strategi, dan program-programnya pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus dengan mengabaikan atau menunda pemerataannya. Kini dengan paradigma baru yang menomorsatukan pemerataan dan keadilan sesuai asas-asas ekonomi Pancasila, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dijadikan kebijakan, strategi, dan program-program utama.

Kami anjurkan para Capres/Cawapres tidak memilih menggunakan istilah “UKM” yang salah kaprah, dan lebih baik mengunakan istilah ekonomi rakyat yang setiap orang yang “tidak terpelajar” pun mengerti persis artinya, yang merupakan istilah dan konsep yang sudah dipakai Bung Karno dan Bung Hatta sejak zaman pergerakan kemerdekaan.


Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.

Makalah Seminar Publik Peningkatan Kualitas dan Partisipasi Politik Rakyat Dalam Pemilu, Yogyakarta, 1 Juli 2004.

http://insanlimacita.wordpress.com/2007/12/16/ekonomi-kerakyatan-dalam-era-globalisasi/

Ekonomi Kerakyatan Dalam Era Globalisasi

Oleh: Mubyarto

Banyak orang berpendapat bahwa sejak krismon 1997 Indonesia telah menjadi korban arus besar “globalisasi” yang telah menghancur-leburkan sendi-sendi kehidupan termasuk ketahanan moral bangsa. “Diagnosis” tersebut menurut pendapat kami memang benar dan kami ingin menunjukkan di sini bahwa kecemasan dan keprihatinan kami sendiri sudah berumur 23 tahun sejak kami menyangsikan ajaran-ajaran dan paham ekonomi Neoklasik Barat yang memang cocok untuk menumbuhkan ekonomi (ajaran efisiensi) tetapi tidak cocok untuk mewujudkan pemerataan (ajaran keadilan). Pada waktu itu (1979) kami ajukan ajaran ekonomi alternatif yang kami sebut Ekonomi Pancasila. Pada tahun 1981 konsep Ekonomi Pancasila dijadikan “Polemik Nasional” selama 6 bulan tetapi selanjutnya digemboskan dan ditenggelamkan.

Kini 21 tahun kemudian, kami mendapat banyak undangan ceramah/seminar tentang ekonomi kerakyatan yang dianggap kebanyakan orang merupakan ajaran baru setelah konsep itu muncul secara tiba-tiba pada era reformasi. Kami ingin tegaskan di sini bahwa konsep ekonomi kerakyatan bukan konsep baru. Ia merupakan konsep lama yaitu Ekonomi Pancasila, namun hanya lebih ditekankan pada sila ke 4 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Inilah asas demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum pada penjelasan pasal 33 UUD 1945, yang oleh ST MPR 2002 dijadikan ayat 4 baru.

Mengapa tidak dipakai konsep Ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah kata Pancasila telah “dikotori” oleh Orde Baru yang memberi tafsiran keliru dan selanjutnya “dimanfaatkan” untuk kepentingan penguasa Orde Baru. Kini karena segala ajaran Orde Baru ditolak, konsep Ekonomi Pancasila juga dianggap tidak pantas untuk disebut-sebut lagi.

Pada buku baru yang kami tulis di AS bersama seorang rekan Prof. Daniel W. Bromley “A Development Alternative for Indonesia”, bab 4 kami beri judul The New Economics of Indonesian Development: Ekonomi Pancasila, dengan isi (1) Partisipasi dan Demokrasi Ekonomi, (2) Pembangunan Daerah bukan Pembangunan di Daerah, (3) Nasionalisme Ekonomi, (4) Pendekatan Multidisipliner dalam Pembangunan, dan (5) Pengajaran Ilmu Ekonomi di Universitas. Kesimpulan kami tetap sama seperti pada tahun 1979 yaitu bahwa hanya dalam sistem Ekonomi Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat dicapai yaitu melalui etika, kemanusiaan, nasionalisme, dan demokrasi/kerakyatan. Berikut kami sampaikan terjemahan bab terakhir (bab 5) Summary and Implications dari buku kami tersebut.
Ringkasan dan Implikasi

Kami telah menelusuri sejumlah masalah yang sungguh memprihatinkan. Kegusaran utama kami adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan Indonesia telah dipengaruhi secara tidak wajar dan telah terkecoh oleh teori-teori ekonomi Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak tepat sebagai obat bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini.

Pakar-pakar ekonomi Indonesia yang memperoleh pendidikan ilmu ekonomi “Mazhab Amerika”, pulang ke negerinya dengan penguasaan peralatan teori ekonomi yang abstrak, dan serta merta merumuskan dan menerapkan kebijakan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan, yang menurut mereka juga akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa Indonesia.

Para “teknokrat” ini bergaul akrab dengan pakar-pakar dari IMF dan Bank Dunia, dan mereka segera tersandera ajaran dogmatis tentang pasar, dengan alasan untuk menemukan “lembaga dan harga-harga yang tepat”, dan selanjutnya menggerakkan mereka lebih lanjut pada penelitian-penelitian dan arah kebijaksanaan yang memuja-muja persaingan atomistik, intervensi pemerintah yang minimal, dan menganggung-agungkan keajaiban pasar sebagai sistem ekonomi yang baru saja dimenangkan. Doktrin ini sungguh sangat kuat daya pengaruhnya terutama sejak jatuhnya rezim Stalin di Eropa Tengah dan Timur dan bekas Uni Soviet. Nampaknya sudah berlaku pernyataan “kini kita semua sudah menjadi kapitalis”. Sudahkah kita sampai pada “akhir sejarah ekonomi?”. Belum tentu.

Keprihatinan kita yang kedua adalah bahwa pertumbuhan pendapatan nasional per kapita sebenarnya merupakan indikator paling buruk dari kemajuan serta pembangunan ekonomi dan sosial yang menyeluruh. Bagi mereka yang bersikukuh bahwa Indonesia harus terus mengejar pertumbuhan ekonomi sekarang, dan baru kemudian memikirkan pembagiannya dan keberlanjutannya, kami ingin mengingatkan bahaya keresahan politik yang sewaktu-waktu bisa muncul. Kami secara serius menolak pendapat yang demikian. Suatu negara yang kaya dan maju berdasarkan sebuah indikator, jelas bukan negara yang ideal jika massa besar yang terpinggirkan berunjuk rasa di jalan-jalan. Keangkuhan dari pakar-pakar ekonomi dan komitmen mereka pada kebijakan ekonomi gaya Amerika merupakan kemewahan yang tak dapat lagi ditoleransi Indonesia. Praktek-praktek perilaku yang diajarkan paham ekonomi yang demikian, dan upaya mempertahankannya berdasarkan pemahaman yang tidak lengkap dari perekonomian, hukum, dan sejarah bangsa Amerika, mengakibatkan terjadinya praktek-praktek yang keliru secara intelektual yang harus dibayar mahal oleh Indonesia. Komitmen pada model-model ekonomi abstrak dan kepalsuan pengetahuan tentang proses pembangunan, mengancam secara serius keutuhan bangsa dan keserasian politik bangsa Indonesia yang lokasinya terpencar luas di pulau-pulau yang menjadi rawan karena sejarah, demografi, dominasi dan campur tangan asing, dan ancaman globalisasi yang garang. Kami khawatir Indonesia telah menukar penjajahan fisik dan politik selama 3½ abad, dengan 3½ dekade “imperialisme intelektual”. Sungguh sulit membayangkan kerugian yang lebih besar lagi.
Gerakan Anti Globalisasi

Dalam 13 tahun terakhir sejak “Washington Concensus” [2] (1989) mengkoyak-koyak perekonomian negara-negara berkembang dari mulai Amerika Latin, bekas Uni Soviet, dan negara-negara Asia Timur, di mana-mana muncul gerakan untuk melawannya, yang disebut gerakan anti-globalisasi. Gerakan ini mengadakan unjukrasa (demonstrasi) menentang pertemuan-pertemuan WTO, IMF, dan Bank Dunia, mulai dari Seattle (1999), Praha (2000), sampai di Genoa Italia (2001). Dan berbagai LSM tingkat dunia (NGO) menerbitkan buku-buku yang menganalisis secara ilmiah. Terakhir terbit buku Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (Norton, 2002) yang diresensi di mana-mana karena Stiglitz kebetulan adalah penerima hadiah Nobel Ilmu Ekonomi 2001 dan justru pernah menjadi Wakil Presiden Senior Bank Dunia (1997-2000).

Washington Consencus adalah judul sebuah “kesepakatan” antara IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat yang tercapai di Washington DC berupa resep mengatasi masalah ekonomi negara-negara Amerika Latin yang dirumuskan oleh John Williamson sekitar tahun 1989 yaitu 10 kebijakan/strategi: (1) fiscal discipline, (2) A redirection of public expenditure priorities towards fields with high economic returns and the potential to improve income distribution, such as primary health care, primary education, and infrastructure, (3) Tax reform (to lower marginal tax rates and broaden the tax base), (4) Interest rate liberalization, (5) A competitive exchange rate, (6) Trade liberalization, (7) Liberalization of FDI inflows, ( 8)Privatization, (9) Deregulation (in the sense of abolishing barriers to entry and exit), dan (10) Secure property rights.

Dari segi teori, perlawanan terhadap “imperialisme intelektual” ilmu ekonomi Neoklasik sudah lebih lama meskipun juga menjadi lebih relevan dan legitimate (syah) sejak “Washington Consensus”. Selanjutnya Paul Ormerod (The Death of Economics, 1992) menyatakan ilmu ekonomi Neoklasik ortodoks harus dianggap sudah mati, dan Steve Keen “mene­lanjanginya” dalam Debunking Economics (2001).

Di Indonesia perlawanan terhadap teori ekonomi Neoklasik dimulai tahun 1979 dalam bentuk konsep Ekonomi Pancasila, tetapi karena pemerintah Orde Baru yang didukung para teknokrat (ekonomi) dan militer begitu kuat, maka konsep Ekonomi Pancasila yang dituduh berbau komunis lalu dengan mudah dijadikan musuh pemerintah, dan masyarakat seperti biasa mengikuti “arahan” pemerintah agar konsep Ekonomi Pancasila ditolak. Namun reformasi 1997-98 menyadarkan bangsa Indonesia bahwa paradigma ekonomi selama Orde Baru memang keliru karena tidak bersifat kerakyatan, dan jelas-jelas berpihak pada kepentingan konglomerat yang bersekongkol dengan pemerintah. Maka munculah gerakan ekonomi kerakyatan yang sebenarnya tidak lain dari sub-sistem Ekonomi Pancasila, tetapi karena kata Pancasila telah banyak disalahgunakan Orde Baru, orang cenderung alergi dan menghindarinya. Jika Ekonomi Pancasila mencakup 5 sila (bermoral, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial), maka ekonomi kerak­yatan menekankan pada sila ke-4 saja yang memang telah paling banyak dilanggar selama periode Orde Baru.

UGM telah memutuskan membuka Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) untuk menghidupkan kembali tekadnya mengembangkan sistem Ekonomi Pancasila yang berawal pada tahun 1981 ketika Fakultas Ekonomi UGM mencuatkan dan menggerakkan pemikiran-pemikiran mendasar tentang moral dan sistem ekonomi Indonesia. Pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila dimaksudkan untuk benar-benar mengkaji dasar-dasar moral, ilmu, dan sistem ekonomi yang sesuai dengan ideologi Pancasila, karena UGM sudah lama dikenal sebagai pengembang gagasan Pancasila dan sudah memiliki Pusat Studi Pancasila.
Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Pemihakan dan perlindungan ditujukan pada ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan sampai 57 tahun Indonesia merdeka selalu terpinggirkan. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.

Moral Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup:

peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab;

penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi;

pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.

pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial;

penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat;

pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Kesimpulan

Globalisasi bukan momok tetapi merupakan kekuatan serakah dari sistem kapitalisme-liberalisme yang harus dilawan dengan kekuatan ekonomi-politik nasional yang didasarkan pada ekonomi rakyat. Semasa krismon kekuatan ekonomi rakyat telah terbukti mampu bertahan. Ekonomi rakyat benar-benar tahan banting. Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) 3 (Juni – Desember 2000) membuktikan hal itu dengan menunjukkan 70% rumah tangga meningkat standar hidupnya. Krismon memang lebih menerpa orang-orang kota dan menguntungkan orang-orang desa. Bagi kebanyakan orang desa tidak ada krisis ekonomi. Kesan krisis ekonomi memang dibesar-besarkan oleh mereka yang tidak lagi mampu “berburu rente” (rent seekers) yang bermimpi masih dapat kembalinya sistem ekonomi “persaingan monopolistik” yang lebih menguntungkan sekelompok kecil orang/pengusaha kaya tetapi merugikan sebagian besar golongan kecil ekonomi rakyat.

Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM

Makalah untuk Konperensi Nasional Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Konperensi Waligereja Indonesia, Yogyakarta, 12 September 2002.


http://www.hupelita.com/baca.php?id=38957

Sistem Ekonomi Rakyat untuk Sebesar-besar Kemakmuran [Opini]

Indonesia is Not for Sale:
Sistem Ekonomi Rakyat untuk Sebesar-besar Kemakmuran
Oleh Sri-Edi Swasono


7. Untuk menjamin lebih terwujudnya sistem ekonomi berkeadilan sosial, maka tidak hanya perlu dilakukan restrukturisasi pemikiran ekonomi agar menjadi pro-konstitusi, pro-poor, pro-rakyat, pro-demokrasi ekonomi, respecting the people sovereignty (mengubah mind-set), tetapi juga restrukturisasi besar-besaran alokasi dana (dan daya) pembangunan.
Mobilisasi dana-dana dalam negeri termasuk pengeluaran obligasi negara di dalam negeri, efisiensi penarikan pajak, pemutihan hutang luar negeri, memburu perampok BLBI dan lain-lain harus segera dilaksanakan sambil memperkukuh kemandirian. Korupsi dan misalokasi kredit perbankan harus segera pula diberantas. Bank tidak boleh sekedar berpraktik tengkulak, tetapi harus menjadi agent of development. Polarisasi ekonomi yang berjalan cepat harus dibendung untuk menghindari polarisasi sosial yang disintegratif.
8. Sistem ekonomi makro berdasar kebersamaan harus dapat secara mikro dilaksanakan dengan penerapan prinsip partisipasi dan emansipasi dalam badan-badan usaha, yaitu Triple-Co, yaitu co-ownership, co-determination dan co-responsibility. Sistem ekonomi sub-ordinasi (hubungan ekonomi “tuan-hamba”, “taoke-koelie”, “ndoro tuan-jongos”) a la cultuurstelsel yang diskriminatif, menumbuhkan kesenjangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi, harus segera diakhiri. PIR (Perkebunan Inti Rakyat) telah menjadi Cultuurstelsel baru, kredit diberikan kepada inti bukan kepada plasma rakyat. Plasma rakyat bukan co-owners, terpuruk dalam on-farm plating dan terjebak dependensi terhadap out-farm manufacturing activities.
Demikian pula dalam renovasi pasar-pasar tradisional, kredit secara keliru telah diberikan kepada developers, bukan kepada pemilik dan penghuni kios-kios. Akibatnya developers, yang diberi posisi dominan oleh perbankan, akhirnya menggusuri si kecil-kecil ini, menjadi rent-seekers, bukan melaksanakan pembangunan partisipatori dan emansipatori.
9. Saya mencoba meyampaikan gagasan saya mengenai Ekonomi Pancasila (Sri-Edi Swasono, 1981), yaitu sistem ekonomi yang berlandasan pada Pasal 33 UUD 1945 yang dilatarbelakangi oleh jiwa Pembukaan UUD 1945 dan didukung/dilengkapi oleh Pasal-pasal 18, 23, 27 ayat 2, dan 34.
Sistem Ekonomi Pancasila dapat digambarkan (Swasono, 1981; 2005) sebagai sistem ekonomi yang berorientasi atau berwawasan pada sila-sila Pancasila:
Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya atau diberlakukannya etik dan moral agama, bukan materialisme; manusia beragama melaksanakan syariah semata-mata berkat iman sebagai hidayah Allah);
Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (ekonomi modern, humane economic system, menganut pemikiran ekonomi sebagai ilmu moral, ekonomi yang menolak pemerasan, penghisapan ataupun riba);
Ketiga, Persatuan (berdasar sosio-nasionalisme Indonesia, berpaham kebersamaan dan berasas kekeluargaan, bergotong-royong, tidak saling mematikan);
Keempat, Kerakyatan (berdasar sosio-demokrasi, demokrasi ekonomi dan mengutamakan hajat hidup orang banyak, people centered, mengutamakan perekonomian rakyat);
Kelima, Keadilan Sosial secara menyeluruh (kemakmuran rakyat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang, berkeadilan dan berkemakmuran).
IV. Ekonomi Rakyat: Subsidi, Human Investment, Sokoguru
1. Seperti saya singgung di depan, perencanaan pembangunan ekonomi nasional tentu pula dapat merupakan perencanaan untuk menciptakan keunggulan-keunggulan komparatif baru. Pembangunan ekonomi rakyat harus mampu mengangkat ekonomi rakyat dalam wujud terciptanya keunggulan-keunggulan komparatif baru bagi rakyat. Sekali lagi, kenyataan empirik menunjukkan bahwa keunggulan komparatif dapat direncanakan dan diciptakan. Ini menjadi tugas Negara untuk mengatasi market failures dalam mengatasi ketimpangan-ketimpangan struktural, tidak mengutamakan rentabilitas dan profitabilitas, yang mencegati kemajuan sektor ekonomi rakyat di mana-mana. Subsidi dan proteksi bagi yang lemah dan miskin, termasuk macam-macam empowerments merupakan human-investment dan social-investment bagi bangsa ini (bukan pemborosan ekonomi sebagaimana dianut para market fundamentalis).
2. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, artinya Pasal 33 UUD 1945 bukan hanya untuk badan usaha koperasi, tetapi untuk segala badan usaha. Koperasi menjadi wadah ekonomi rakyat. Pembangunan usaha-usaha kecil bukanlah pembangunan ekonomi bagi calon-calon kapitalis rent-seekers.
3. Hatta adalah pembuat istilah ekonomi rakyat dalam rangka kewaspadaan dan keprihatinan perihal masuknya koloniaal kapitaal ke Indonesia (Daulat Ra’jat, 10 November 1931). Ekonomi rakyat adalah riil dan konkret. Kita bisa bersilang pendapat mengenai definisi ekonomi rakyat. Oleh karena itu lebih tepat apabila kita meninjaunya dari segi kenyataan yang ada secara sederhana, melalui common sense, yaitu bahwa kita memiliki pertanian rakyat, perkebunan rakyat, perikanan rakyat, tambak rakyat, pelayaran rakyat, kerajinan rakyat, industri rakyat, penggalian rakyat, pertambangan rakyat, pertukangan rakyat, bahkan yang teramat penting bagi kehidupan sehari-hari adalah bahwa kita memiliki dan hidup dari pasar-pasar rakyat. Kita kenal pula ekonomi rakyat yang berbasis komoditi seperti kopra rakyat, kopi rakyat, karet rakyat, cengkih rakyat, tembakau rakyat, dan seterusnya, yang menjadi penyangga/sokoguru bagi industri prosesing di atasnya. Ini semua memberikan lapangan pekerjaan dan sumber kehidupan yang sangat luas kepada masyarakat. Membangun ekonomi rakyat adalah membangun usaha-usaha rakyat yang riil seperti tersebut di atas.
Dari sini memang kita lalu cenderung untuk terpaku pada pola-pikir perlunya pemihakan kepada ekonomi rakyat. Namun pemihakan (altruisme filantropi) saja kepada ekonomi rakyat tidaklah cukup. Kita harus mau mengakui bahwa ekonomi rakyat memiliki peran dan kekuatan sebagai suatu strategi pembangunan. Makna sebagai strategi pembangunan itu, antara lain: (1) Dengan rakyat yang secara partisipatori-emansipatori berkesempatan aktif dalam kegiatan ekonomi akan lebih menjamin nilai-tambah ekonomi optimal yang mereka hasilkan dapat secara langsung diterima oleh rakyat. Pemerataan akan terjadi seiring dengan pertumbuhan. (2) Memberdayakan rakyat merupakan tugas nasional untuk meningkatkan produktivitas rakyat sehingga rakyat lebih secara konkret menjadi aset aktif pembangunan. Subsidi dan proteksi kepada rakyat untuk membangun diri dan kehidupan ekonominya merupakan investasi ekonomi nasional dalam bentuk human investment (bukan pemborosan atau inefficiency) serta mendorong tumbuhnya kelas menengah yang berbasis grass-roots. (3) Pembangunan ekonomi rakyat meningkatkan daya-beli rakyat yang kemudian akan menjadi energi rakyat untuk lebih mampu membangun dirinya sendiri (self-empowering), sehingga rakyat mampu meraih “nilai-tambah ekonomi” dan sekaligus “nilai-tambah sosial” (nilai-tambah kemartabatan). (4) Pembangunan ekonomi rakyat sebagai pemberdayaan rakyat akan merupakan peningkatan collective bargaining position untuk lebih mampu mencegah eksploitasi dan subordinasi ekonomi terhadap rakyat. (5) Dengan rakyat yang lebih aktif dan lebih produktif dalam kegiatan ekonomi maka nilai-tambah ekonomi akan sebanyak mungkin terjadi di dalam-negeri dan untuk kepentingan ekonomi dalam-negeri. (6) Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih menyesuaikan kemampuan rakyat yang ada dengan sumber-sumber alam dalam-negeri yang tersedia (endowment factors Indonesia) berdasar strategi resources-based dan people-centered. (7) Pembangunan ekonomi rakyat akan lebih menyerap tenaga kerja. (8) Pembangunan ekonomi rakyat akan bersifat lebih cepat menghasilkan dalam suasana ekonomi yang sesak napas dan langka modal. (9) Pembangunan perekonomian rakyat sebagai sokoguru perekonomian nasional akan meningkatkan kemandirian ekonomi dalam-negeri, akan menekan sebanyak mungkin ketergantungan akan import-components dan meningkatkan domestic-contents produk-produk industri dalam-negeri, yang selanjutnya akan lebih mampu berganda-ganda mengembangkan pasaran dalam-negeri. (10) Pemberdayaan perekonomian rakyat yang akan lebih mampu memperkukuh pasaran dalam-negeri yang akan menjadi dasar bagi pengembangan pasaran luar-negeri (ekspor). (11) Dalam globalisasi ini kita harus tetap waspada terhadap paham globalisme yang cenderung menyingkirkan paham nasionalisme. Kepentingan nasional Indonesia harus tetap kita utamakan sebagaimana negara-negara adidaya selalu mempertahankannya pula dengan berbagai dalih ekonomi ataupun politik. Pembangunan perekonomian rakyat akan menjadi akar bagi penguatan fundamental ekonomi nasional dan menjadi dasar utama bagi realisasi nasionalisme ekonomi. (12) Pembangunan perekonomian rakyat dapat dilaksanakan tanpa mempergunjingkan ekstremitas positif-negatifnya peran dan mekanisme pasar. (13) Pembangunan perekonomian rakyat merupakan misi politik dalam melaksanakan demokratisasi ekonomi sebagai sumber rasionalitas bagi pemihakan kepada rakyat kecil. (14) Dua dekade yang lalu ada ajakan untuk meninjau ulang strategi-strategi pembangunan (Development Strategies Reconsidered, Overseas Development Council, 1987) dan ajakan yang mutakhir (The Frontiers of Development Economics, Meier & Stiglitz, 2001) menegaskan betapa perlu ada pergeseran paradigma-paradigma dalam pemikiran ekonomi. Perekonomian rakyat memperoleh tempat dalam rekonsiderasi di situ. Lebih dari itu, bagi mereka yang masih mau melepaskan ortodoksi perlu membaca ide-ide lama dan baru mengenai social market economy. (15) Secara keseluruhannya, butir-butir tersebut di atas akan lebih menjamin terjadinya “pembangunan Indonesia”, bukan sekadar pembangunan di Indonesia. (16) Pembangunan ekonomi kerakyatan bertumpu pada platform bahwa yang kita bangun adalah rakyat, bangsa dan negara. Pembangunan pertumbuhan ekonomi (GNP) adalah derivat dari platform ini, sebagai pendukung dan fasilitator bagi pembangunan rakyat, bangsa dan negara. (17) Dalam kenyataan, ekonomi rakyat mampu menghidupi sebagian terbesar dari rakyat Indonesia, di tengah-tengah krisis moneter, pasang-surutnya sektor perekonomian formal-modern, sejak awal kemerdekaan hingga saat ini. (18) Dan seterusnya. Kesemuanya mendukung percepatan melaksanakan transformasi ekonomi dan transformasi sosial, yang tidak harus berhenti di butir 18 saja.

0 Responses to "CAPRES/CAWAPRES DAN EKONOMI RAKYAT"

About the author

This is the area where you will put in information about who you are, your experience blogging, and what your blog is about. You aren't limited, however, to just putting a biography. You can put whatever you please.