wanita

Written by blog_electrical engineering on Sabtu, 31 Mei 2008 at 07.42

>wanita adalah wanita...,
>jika dikatakan cantik maka dikira menggoda..,
>wanita adalah wanita...,
>jika dibilang jelek maka disangka menghina..,
>jika dikatakan ia perhiasan ter indah didunia ia bangga,
>jika, apapun "perhiasan yg berharga" itu layak ditutupi dan disembunyikan ia setuju..(supaya terjaga)
>tapi bila disuruh menutup "perhiasannya/ kecantikannya" maka dia enggan...,
>dan bila dilecehkan ia menyalahkan sepenuhnya pria..!
>wanita adalah wanita...,
>jika dikatakan siapa yg paling dibanggakan olehnya, kebanyakan bilang
"ibunya",
>tapi kenapa ya..lebih bangga jadi wanita karier..(padahal ibunya "ibu rumah tangga")
>wanita ....
>bila diluruskan supaya bener memerah mukanya, (marah, sambil bilang "sok bener lo!")
>bila diingetin tetep memerah mukanya, (marah juga rupanya, sambil bilang "sok tau lo!")
>bila dimanja dan disanjung..? ? eh, tetep memerah mukanya (kali ini tersipu malu, sambil bilang "ah, masa?")
>wanita adalah wanita...,
>inginnya dibilang emansipasi.. .,
>tapi kegerahan dibilang "macho",
>maunya disamakan dg pria..,
tapi menolak benerin genteng rumah! (sambil bilang, "masa disamakan sama cowok!?")
>Wanita...,
>bila dibilang lemah dia protes...
>jika pacarnya tidak mau antar pulang dia bilang keterlaluan,
>maunya diperlakukan sama dg pria..,
tapi kesel nggak dikasih tempat duduk di bis kota oleh pria disampingnya (dan bilang "egois amat ni cowok?")
>bila dikatakan kuat itu maunya..,
tapi bila sedikit bersedih ia cepet menangis...,
>tapi....
>Wanita adalah wanita...
dan wanita bukan perempuan atau cewek semata..., tapi bagaimanapun juga aku suka wanita! (swear..) "Man's said"
YANG TIDAK MERASA BERARTI TIDAK PROTES! DAN YANG MERASA PASTI DIEM.
Enakan jadi cowok juga yach...
hehehehe....

Pria memang susah untuk dibuat bahagia:

Written by blog_electrical engineering on at 07.21

Pria memang susah untuk dibuat bahagia:
Masalah-masalah yang timbul pada Pria
>Jika kamu memperlakukannya dengan baik,
dia pikir kamu jatuh cinta kepadanya.
>Jika tidak, kamu akan dibilang sombong.
>Jika kamu berpakaian bagus, dia pikir kamu sedang mencoba untuk menggodanya,
>jika tidak dia bilang kamu kampungan.
>Jika kamu berdebat dengannya, dia bilang kamu keras kepala,
>jika kamu tetap diam, dia bilang kamu
nggak punya otak.
>Jika kamu lebih pintar dari pada dia,
dia akan kehilangan muka,
>jika dia yang lebih pintar, dia akan merasa hebat.
>Jika kamu tidak cinta padanya, dia akan mencoba mendapatkanmu,
>jika kamu mencintainya,dia akan mencoba untuk meninggalkanmu.
>Jika kamu beritahu dia masalahmu, dia bilang kamu menyusahkan.
>Jika tidak, dia bilang kamu tidak mempercayai mereka.
>Jika kamu cerewet pada dia, kamu seperti seorang pengasuh baginya,
>tapi jika dia yang cerewet pada kamu,
itu karena dia perhatian.
>Jika kamu langgar janji kamu, kamu tidak bisa dipercaya,
>jika dia yang ingkari janjinya, dia melakukannya karena terpaksa.
>Jika kamu merokok, kamu adalah cewek liar,
>kalau dia yang merokok , dia adalah seorang gentleman.
>Jika kamu menyakitinya, kamu sangat kejam,
>tapi kalau dia yang menyakitimu, itu karena kamu terlalu sensitif dan terlalu sulit untuk dibuat bahagia!!!!!
Jika kamu mengirimkan ini pada cowok-cowok, mereka pasti bersumpah kalau ini tidak benar,tapi jika kamu tidak mengirimkan ini pada mereka, mereka akan bilang kamu egois.
Saya juga pria dan sering melakukan sebagian dari yg tertera diatas. Sebelumnya aq udah buat yg versi wanita dan sekarang versi prianya.
Hal ini penting buat semuanya agar kedua jenis manusia ini tau dan sadar klo berhadapan dengan manusia yg berbeda jenis kelamin (selain banci, homo, dan lesbian) kita gak harus memiliki bahkan menunjukkan rasa EGO baik itu wanita maupun pria.
Kita itu diciptaan TUHAN tuk saling melengkapi satu sama lain, supaya gak ada penyimpangan dalam kehidupan dan percintaan (katanya.....).
Penyimpangan dimaksud bukan percintaan sejenis aja, tp poligami, poliandri n poli yg lainnya jg..
NB : Klo ada individu, sekelompok individu yang mungkin tersinggung dengan buletin ini saya MOHON MAAF yg sebesar-besarnya..
TERIMA KASIH.

Blog Berita - Jarar Siahaan - Penulis dari Balige Tobasa

Written by blog_electrical engineering on Kamis, 29 Mei 2008 at 02.51

http://bataknews.wordpress.com/2007/10/18/kegelisahan-paltibonar/

Blog Berita - Jarar Siahaan - Penulis dari Balige Tobasa

Situsku ini, Batak News, telah pindah alamat, silakan lihat di blogberita.net; this weblog fully powered by wordpress.com, get your own blog for free; write freely and responsibly

Kegelisahan Paltibonar

[suhunan situmorang; blog berita; paltibonar adalah suhunan, kataku]

Seharusnya dana yang begitu besar untuk mengurusi orang mati akan lebih bermakna bila dialihkan untuk menyejahterakan orang yang masih hidup.

Artikel ini adalah komentar yang ditulis Suhunan Situmorang menanggapi artikel sebelumnya di Blog Berita, Bangunlah pendidikan, bukan makam. Suhunan bekerja sehari-hari sebagai advokat di kantor Nugroho Partnership, Jakarta, setelah sebelumnya menjadi wartawan di majalah Forum. Ia juga pengarang novel Sordam, sebuah novel berlatar peristiwa aktual.

Paltibonar, yang kuambil menjadi judul artikel ini, adalah nama lelaki Batak tokoh utama dalam novel Sordam. Paltibonar dalam buku itu berperan sebagai wartawan, kemudian menjadi advokat, aktivis lingkungan, dan aktivis politik…, sebelum akhirnya ia tewas dalam serangan orang-orang tegap berambut cepak ke “kantor PDI Mega”. Ia menggugat banyak hal dalam kebatakan; salah satunya soal adat yang menguras kantong, termasuk pembangunan makam dan tugu yang mewah bagi orang mati. Dalam bekerja sebagai wartawan maupun pengacara, Paltibonar sangat menentang suap dan korupsi.

Setelah menyimak sedikitnya 11 artikel Suhunan di blog ini, juga sekian banyak komentarnya sejak Maret silam, plus perbincangan pribadi kami via SMS dan imel, aku dengan sok berani-beraninya mengambil kesimpulan: Paltibonar, sebenarnya, adalah sosok Suhunan sendiri. *Aku kabur dulu, sebelum kena timpuk sama lae Suhunan.* :D

Tapi, serius, aku pun sudah lama gelisah pada hal-hal yang ditentang Paltibonar dalam buku itu; mulai soal agama yang sering dijadikan basa-basi pemanis tampilan, jurnalis Indonesia yang jago menulis berita pejabat korup tapi pers sendiri pun terlibat korupsi, hingga ke urusan cinta segitiga yang dialami Paltibonar. Jangan salah menduga, cintaku tidak berbentuk segitiga, tapi bulat. :D

SAYA SUKA TANGGAPAN lae, kritis dan berbasiskan (pendekatan) ilmu-ilmu sosial: sejarah, antropologi, sosiologi, dsb. Tak banyak orang Batak yg bisa menjelaskan sejarah dan persoalan Batak secara “holistik dan ilmiah” macam yg lae beberkan di atas.

Sebenarnya ada seorang cendekiawan Batak Toba yg cukup bagus menguasai sejarah, filosofi, dan faktor-faktor yg mempengaruhi perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai anutan masyarakat Batak. Namanya Parakitri T Simbolon, seorang esais, cerpenis, novelis, wartawan/eks redaktur senior Kompas, ahli filsafat dan ilmu-ilmu sosial, yg sekarang memimpin kelompok penerbitan Kompas Gramedia (KPG). Untuk keperluan studi doktoralnya di Belanda, ia bertahun-tahun melakukan riset dan penelusuran tulisan-tulisan lak-lak dan pendapat para penulis asing, misionaris, pejabat pemerintah Hindia Belanda, dll, menyangkut alam dan manusia Batak, yg dituangkan dlm buku maupun kertas kerja (report, makalah, dll). Ia menguasai aksara dan bahasa Batak dng sempurna–membuat saya malu, yg terlanjur dicap paham budaya Batak hanya lewat sebuah novel sederhana berjudul SORDAM, yg kebetulan ber-setting alam dan bertokoh manusia Batak Toba.

Sayangnya, Parakitri terkesan enggan muncul ke permukaan bila ada pertemuan, diskusi, seminar, yang bertemakan atau bertopikkan manusia Batak. Juga tak giat lagi menerbitkan pikiran-pikirannya di media massa. (Thn 80-an ia rutin menulis esai/kolom di KOMPAS, tokoh tulisannya ‘Cucu Wisnusarman’; memang tak spesifik mengulas dunia dan manusia Batak).

Dalam perbincangan saya beberapa bulan lalu dng Parakitri hingga pukul 2 pagi di kantornya, saya seperti orang awam mengenai Batak. Benar-benar terpukau dng penjelasan, analisis, data dan referensi yg disodorkannya. Saya mendorongnya agar menerbitkan kumpulan-kumpulan tulisannya mengenai Batak itu (juga studinya terhadap Sisingamangaraja XII), agar masyarakat Batak dan non-Batak yg berminat, semakin paham sejarah dan perkembangan (termasuk perpecahan Batak karena faktor agama), juga perubahan-perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai dan norma anutan manusia Batak.

Saya melihat, lae Hutauruk dan Parakitri memiliki kesamaan, atau setidaknya sudah mampu memetakan sejarah itu lebih baik dibanding orang Batak pada umumnya. Tapi, sekadar tanggapan atau mungkin lbh cocok disebut bahan wacana selanjutnya atas tanggapan lae terhadap tulisan lae Holben Sinaga di atas, khususnya mengenai makna ‘tugu marga’ atau kuburan besar yg disebut batu napir, berikut tanggapan saya:

Sebetulnya, polemik yg cukup sengit mengenai relevansi dan makna tugu atau kuburan besar sebagai tanggapan atas kecenderungan orang Batak Toba yg mulai giat membangun tugu dan kuburan besar bagi leluhur dan orangtua mereka (Tambak na pir/Batu napir) telah dilakukan Sitor Situmorang dan DR Kartini Panjaitan Sjahrir di jurnal ilmu sosial ‘Prisma’, awal-awal thn 80-an (sayang, jurnal tsb yg lama kukoleksi tdk dipulangkan kawan mahasiswa FISIP-UI, jadi tidak punya lagi).

Saya bisa memahami bila orang Batak (marga) merasa perlu membuat tanda berupa bangunan semacam prasasti atau monumen utk menghormati dan mengabadikan jasa leluhur/ nenek-moyang mereka, yg juga bisa dijadikan sebagai perekat antarsemarga (sepuak/sekaum), sekaligus utk mengaksentuasikan identitas mereka atau utk memperlihatkan eksistensi mereka di tengah marga lain. Itu penting, setidaknya, generasi penerus (cucu-cicit), bisa tahu dan dpt menelusuri trah, garis keturunan, sejak leluhurnya yg pertama.

Tetapi perkembangannya kemudian, dan ini fakta, orang Batak Toba kemudian melebarkan pembangunan/ pembuatan tugu itu, mulai dari generasi ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, dst. Tak hanya itu, sekarang dibuat pula tugu utk lingkup yg lebih sempit, yakni khusus utk yang satu ompung (kakek buyut).

Selain membangun tugu, orang Batak Toba juga membangun kuburan besar berbentuk tugu yg juga disebut Tambak napir/Batu napir, utk menampung tulang-belulang, jerangkong, dan jenazah kakek-nenek dan orangtua mereka. Memang, itu hak mereka, tetapi bisalah kita bayangkan bila tiap sub-marga dan masing-masing yg sekakek-senenek membuat hal yg sama, yg semakin lama semakin menyempit (ditarik dari tiga atau dua garis keturunan dari atas).

Fenomena dan kecenderungan semacamlah yg terjadi di wilayah Samosir, Toba, Humbang sejak thn 80-an. (Masyarakat Batak yg mendiami bumi Rura Silindung, meski sama-sama etnis Batak Toba, kelihatannya tdk familiar dng pembangunan tugu atawa Tambak napir/Batu napir ini. Cobalah kita perhatikan, di wilayah Tarutung dan sekitarnya, jarang ditemukan tugu atau Tambak napir).

Pengamatan saya yg blm mendalam dan sama sekali tdk menggunakan kerangka teori ilmu-ilmu sosial (antropologi, arkeologi) — yg kemudian dituliskan secara parsial di novel SORDAM — fenomena atau kecenderungan pembuatan/ pembangunan tugu dan Batu napir di kalangan masyarakat Batak Toba (minus Silindung), semakin gencar dan marak seiring dengan meningkatnya status sosial masyarakatnya, khususnya orang Batak Toba di perantauan.

Artinya (semoga saya keliru), keinginan utk membangun monumen dan kuburan besar itu lebih merupakan upaya pengukuhan atau legitimasi sub-marga dan keluarga besar ketimbang sebagai monumen utk dijadikan sebagai penunjuk/ penanda sebuah garis keturunan atau identitas marga.

Disadari atau tidak, kecenderungan yg kemudian menggejala adalah, masing-masing berusaha utk menunjukkan kepada yg lain bhw mereka pun mampu membuat/ membangun tugu atawa Batu napir yg lebih bagus dari yg sudah dibuat sub-marga, keluarga se-ompung, bahkan lebih dipersempit lagi cukup hingga dua generasi di atas mereka saja. Tentu saja pembangunan Batu napir tsb akan menghabiskan biaya yg terbilang besar, berkisar ratusan juta hingga milyar rupiah, yg diberi marmer, teraso, dan berpenerangan listrik kalau malam. (Sekali lagi, itu hak mereka).

Ironisnya, di sekitar tugu atau Batu napir itu, mata kita akan menyaksikan pemandangan yg memprihatinkan. Rumah-rumah kayu yg reot, rumah adat yg tinggal ambruk 9jumlah ruma bolon sudah semakin sedikit sekarang ini), dan kemiskinan penduduk — yg mungkin saja memang bukan kerabat dekat para pemilik tugu/Tambak napir — yg amat memprihatinkan.

Sebagai orang muda yg kritis, lae Holben Sinaga mungkin sama seperti Paltibonar (sang tokoh fiktif itu), gelisah dan geram menyaksikan realitas yg timpang dan ironis itu, karena orang Batak Toba sepertinya lebih bersemangat membangun keperluan orang mati ketimbang yg masih hidup. Kenapa, misalnya, selain membangun tugu/Tambak napir, orang-orang Batak Toba juga menyisihkan sebagian uang mereka yg dikumpul itu utk membantu penduduk setempat (huta), meski pun tdk semuanya kerabat dekat.

Semisal: membangun tali air agar irigasi sawah-ladang bagus, pemberian bibit tanaman dan ternak, membantu beasiswa anak-anak ‘par huta’, membantu pembangunan jalan. Tindakan semacam ini sdh lama dilakukan orang-orang Minang perantauan; banyak jalan, jembatan, irigasi, surau/mesjid, gedung sekolah, yg dibangun para perantau. [www.blogberita.com]

Blog Berita - Jarar Siahaan - Penulis dari Balige Tobasa

Situsku ini, Batak News, telah pindah alamat, silakan lihat di blogberita.net; this weblog fully powered by wordpress.com, get your own blog for free; write freely and responsibly

Kegelisahan Paltibonar

[suhunan situmorang; blog berita; paltibonar adalah suhunan, kataku]

Seharusnya dana yang begitu besar untuk mengurusi orang mati akan lebih bermakna bila dialihkan untuk menyejahterakan orang yang masih hidup.

Artikel ini adalah komentar yang ditulis Suhunan Situmorang menanggapi artikel sebelumnya di Blog Berita, Bangunlah pendidikan, bukan makam. Suhunan bekerja sehari-hari sebagai advokat di kantor Nugroho Partnership, Jakarta, setelah sebelumnya menjadi wartawan di majalah Forum. Ia juga pengarang novel Sordam, sebuah novel berlatar peristiwa aktual.

Paltibonar, yang kuambil menjadi judul artikel ini, adalah nama lelaki Batak tokoh utama dalam novel Sordam. Paltibonar dalam buku itu berperan sebagai wartawan, kemudian menjadi advokat, aktivis lingkungan, dan aktivis politik…, sebelum akhirnya ia tewas dalam serangan orang-orang tegap berambut cepak ke “kantor PDI Mega”. Ia menggugat banyak hal dalam kebatakan; salah satunya soal adat yang menguras kantong, termasuk pembangunan makam dan tugu yang mewah bagi orang mati. Dalam bekerja sebagai wartawan maupun pengacara, Paltibonar sangat menentang suap dan korupsi.

Setelah menyimak sedikitnya 11 artikel Suhunan di blog ini, juga sekian banyak komentarnya sejak Maret silam, plus perbincangan pribadi kami via SMS dan imel, aku dengan sok berani-beraninya mengambil kesimpulan: Paltibonar, sebenarnya, adalah sosok Suhunan sendiri. *Aku kabur dulu, sebelum kena timpuk sama lae Suhunan.* :D

Tapi, serius, aku pun sudah lama gelisah pada hal-hal yang ditentang Paltibonar dalam buku itu; mulai soal agama yang sering dijadikan basa-basi pemanis tampilan, jurnalis Indonesia yang jago menulis berita pejabat korup tapi pers sendiri pun terlibat korupsi, hingga ke urusan cinta segitiga yang dialami Paltibonar. Jangan salah menduga, cintaku tidak berbentuk segitiga, tapi bulat. :D

SAYA SUKA TANGGAPAN lae, kritis dan berbasiskan (pendekatan) ilmu-ilmu sosial: sejarah, antropologi, sosiologi, dsb. Tak banyak orang Batak yg bisa menjelaskan sejarah dan persoalan Batak secara “holistik dan ilmiah” macam yg lae beberkan di atas.

Sebenarnya ada seorang cendekiawan Batak Toba yg cukup bagus menguasai sejarah, filosofi, dan faktor-faktor yg mempengaruhi perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai anutan masyarakat Batak. Namanya Parakitri T Simbolon, seorang esais, cerpenis, novelis, wartawan/eks redaktur senior Kompas, ahli filsafat dan ilmu-ilmu sosial, yg sekarang memimpin kelompok penerbitan Kompas Gramedia (KPG). Untuk keperluan studi doktoralnya di Belanda, ia bertahun-tahun melakukan riset dan penelusuran tulisan-tulisan lak-lak dan pendapat para penulis asing, misionaris, pejabat pemerintah Hindia Belanda, dll, menyangkut alam dan manusia Batak, yg dituangkan dlm buku maupun kertas kerja (report, makalah, dll). Ia menguasai aksara dan bahasa Batak dng sempurna–membuat saya malu, yg terlanjur dicap paham budaya Batak hanya lewat sebuah novel sederhana berjudul SORDAM, yg kebetulan ber-setting alam dan bertokoh manusia Batak Toba.

Sayangnya, Parakitri terkesan enggan muncul ke permukaan bila ada pertemuan, diskusi, seminar, yang bertemakan atau bertopikkan manusia Batak. Juga tak giat lagi menerbitkan pikiran-pikirannya di media massa. (Thn 80-an ia rutin menulis esai/kolom di KOMPAS, tokoh tulisannya ‘Cucu Wisnusarman’; memang tak spesifik mengulas dunia dan manusia Batak).

Dalam perbincangan saya beberapa bulan lalu dng Parakitri hingga pukul 2 pagi di kantornya, saya seperti orang awam mengenai Batak. Benar-benar terpukau dng penjelasan, analisis, data dan referensi yg disodorkannya. Saya mendorongnya agar menerbitkan kumpulan-kumpulan tulisannya mengenai Batak itu (juga studinya terhadap Sisingamangaraja XII), agar masyarakat Batak dan non-Batak yg berminat, semakin paham sejarah dan perkembangan (termasuk perpecahan Batak karena faktor agama), juga perubahan-perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai dan norma anutan manusia Batak.

Saya melihat, lae Hutauruk dan Parakitri memiliki kesamaan, atau setidaknya sudah mampu memetakan sejarah itu lebih baik dibanding orang Batak pada umumnya. Tapi, sekadar tanggapan atau mungkin lbh cocok disebut bahan wacana selanjutnya atas tanggapan lae terhadap tulisan lae Holben Sinaga di atas, khususnya mengenai makna ‘tugu marga’ atau kuburan besar yg disebut batu napir, berikut tanggapan saya:

Sebetulnya, polemik yg cukup sengit mengenai relevansi dan makna tugu atau kuburan besar sebagai tanggapan atas kecenderungan orang Batak Toba yg mulai giat membangun tugu dan kuburan besar bagi leluhur dan orangtua mereka (Tambak na pir/Batu napir) telah dilakukan Sitor Situmorang dan DR Kartini Panjaitan Sjahrir di jurnal ilmu sosial ‘Prisma’, awal-awal thn 80-an (sayang, jurnal tsb yg lama kukoleksi tdk dipulangkan kawan mahasiswa FISIP-UI, jadi tidak punya lagi).

Saya bisa memahami bila orang Batak (marga) merasa perlu membuat tanda berupa bangunan semacam prasasti atau monumen utk menghormati dan mengabadikan jasa leluhur/ nenek-moyang mereka, yg juga bisa dijadikan sebagai perekat antarsemarga (sepuak/sekaum), sekaligus utk mengaksentuasikan identitas mereka atau utk memperlihatkan eksistensi mereka di tengah marga lain. Itu penting, setidaknya, generasi penerus (cucu-cicit), bisa tahu dan dpt menelusuri trah, garis keturunan, sejak leluhurnya yg pertama.

Tetapi perkembangannya kemudian, dan ini fakta, orang Batak Toba kemudian melebarkan pembangunan/ pembuatan tugu itu, mulai dari generasi ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, dst. Tak hanya itu, sekarang dibuat pula tugu utk lingkup yg lebih sempit, yakni khusus utk yang satu ompung (kakek buyut).

Selain membangun tugu, orang Batak Toba juga membangun kuburan besar berbentuk tugu yg juga disebut Tambak napir/Batu napir, utk menampung tulang-belulang, jerangkong, dan jenazah kakek-nenek dan orangtua mereka. Memang, itu hak mereka, tetapi bisalah kita bayangkan bila tiap sub-marga dan masing-masing yg sekakek-senenek membuat hal yg sama, yg semakin lama semakin menyempit (ditarik dari tiga atau dua garis keturunan dari atas).

Fenomena dan kecenderungan semacamlah yg terjadi di wilayah Samosir, Toba, Humbang sejak thn 80-an. (Masyarakat Batak yg mendiami bumi Rura Silindung, meski sama-sama etnis Batak Toba, kelihatannya tdk familiar dng pembangunan tugu atawa Tambak napir/Batu napir ini. Cobalah kita perhatikan, di wilayah Tarutung dan sekitarnya, jarang ditemukan tugu atau Tambak napir).

Pengamatan saya yg blm mendalam dan sama sekali tdk menggunakan kerangka teori ilmu-ilmu sosial (antropologi, arkeologi) — yg kemudian dituliskan secara parsial di novel SORDAM — fenomena atau kecenderungan pembuatan/ pembangunan tugu dan Batu napir di kalangan masyarakat Batak Toba (minus Silindung), semakin gencar dan marak seiring dengan meningkatnya status sosial masyarakatnya, khususnya orang Batak Toba di perantauan.

Artinya (semoga saya keliru), keinginan utk membangun monumen dan kuburan besar itu lebih merupakan upaya pengukuhan atau legitimasi sub-marga dan keluarga besar ketimbang sebagai monumen utk dijadikan sebagai penunjuk/ penanda sebuah garis keturunan atau identitas marga.

Disadari atau tidak, kecenderungan yg kemudian menggejala adalah, masing-masing berusaha utk menunjukkan kepada yg lain bhw mereka pun mampu membuat/ membangun tugu atawa Batu napir yg lebih bagus dari yg sudah dibuat sub-marga, keluarga se-ompung, bahkan lebih dipersempit lagi cukup hingga dua generasi di atas mereka saja. Tentu saja pembangunan Batu napir tsb akan menghabiskan biaya yg terbilang besar, berkisar ratusan juta hingga milyar rupiah, yg diberi marmer, teraso, dan berpenerangan listrik kalau malam. (Sekali lagi, itu hak mereka).

Ironisnya, di sekitar tugu atau Batu napir itu, mata kita akan menyaksikan pemandangan yg memprihatinkan. Rumah-rumah kayu yg reot, rumah adat yg tinggal ambruk 9jumlah ruma bolon sudah semakin sedikit sekarang ini), dan kemiskinan penduduk — yg mungkin saja memang bukan kerabat dekat para pemilik tugu/Tambak napir — yg amat memprihatinkan.

Sebagai orang muda yg kritis, lae Holben Sinaga mungkin sama seperti Paltibonar (sang tokoh fiktif itu), gelisah dan geram menyaksikan realitas yg timpang dan ironis itu, karena orang Batak Toba sepertinya lebih bersemangat membangun keperluan orang mati ketimbang yg masih hidup. Kenapa, misalnya, selain membangun tugu/Tambak napir, orang-orang Batak Toba juga menyisihkan sebagian uang mereka yg dikumpul itu utk membantu penduduk setempat (huta), meski pun tdk semuanya kerabat dekat.

Semisal: membangun tali air agar irigasi sawah-ladang bagus, pemberian bibit tanaman dan ternak, membantu beasiswa anak-anak ‘par huta’, membantu pembangunan jalan. Tindakan semacam ini sdh lama dilakukan orang-orang Minang perantauan; banyak jalan, jembatan, irigasi, surau/mesjid, gedung sekolah, yg dibangun para perantau. [www.blogberita.com]


http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/20/0044.html

Globalisasi, Menuju Era Konflik Etnik

From: John MacDougall (apakabar@igc.org)
Date: Sun Aug 20 2000 - 17:12:32 EDT


>Senin, 21 Agustus 2000
Globalisasi, Menuju Era Konflik Etnik
TERBENTUKNYA stratifikasi masyarakat berdasarkan pengelompokan etnik atau
ras, seperti dikemukakan Furnifall
di Hindia Belanda, tidak memadai lagi sebagai perkakas ilmiah cukup untuk
menjelaskan kompleksitas masyarakat
majemuk.
Modernisasi yang telah mendorong mobilitas penduduk-baik secara horizontal
maupun vertikal-tidak lagi mengenal batasan askriptif sosial yang
disuburkan kolonial itu.
Pertumbuhan kota yang pesat di berbagai propinsi di Indonesia telah menjadi
daya tarik bagi para pendatang dengan berbagai latar belakang etnik. Di
sini mereka berpacu untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi dan politik yang
terbatas. Di sini pula mereka setiap saat harus dapat menerima kehadiran
orang-orang dengan latar belakang budaya berbeda.
Dalam konteks seperti ini keragaman haruslah dilihat sebagai suatu
struktur interaksi yang relatif harmonis. Di luar itu, pengertiannya
menjadi lain atau bergeser. Seperti mayoritas-minoritas, atau bahkan
kolonialisme, imperialisme baru. Dengan kata lain, bagaimana seseorang
dengan latar belakang etnik (baik itu suku bangsa, agama, maupun
kedaerahan) mendefinisikan situasinya dalam hubungannya dengan orang lain
dari kelompok berbeda, menentukan kategori masyarakat tersebut.
Dalam bahasa sederhana, di Irian Jaya penduduk asli tidak habis pikir,
mengapa hanya untuk camat saja didatangkan dari Jawa. Demikian pula guru.
Padahal sekarang, ribuan sarjana putra asli daerah saat ini menganggur
karena tidak ada lowongan kerja. Ironisnya, penduduk Irian Jaya menempati
papan atas dalam soal kemiskinan di republik ini.
Di masa Orde Baru tidak ada yang berani memprotes hal ini. Penggunaan kata
demi mempertahankan persatuan dan kesatuan, bisa membuat nyawa orang dalam
bahaya. Maka apa pun yang dilakukan Jakarta adalah benar adanya. Kultur
pangreh praja, atau penguasa kerajaan, yang ditumbuhkan sejak zaman
kolonial, membentuk persepsi bahwa daerah luar Jawa butuh bimbingan dan
harus diarahkan agar tidak "keliru."
Logika seperti ini juga muncul dalam eksploatasi sumber daya alam. Jakarta
menyebutnya untuk kesejahteraan daerah. Sementara warga Irian Jaya
melihatnya sebagai perampokan. Protes warga akan dijawab dengan pengiriman
pasukan dengan dalih adanya unsur provokasi oleh OPM.
Sejak Indonesia merdeka, kata persatuan dan kesatuan telah menjadi senjata
ampuh untuk membungkam pertanyaan sekitar hak-hak kelompok minoritas dan
penduduk lokal. Soekarno dan Soeharto dengan mudah mengirim ribuan bala
prajurit bersenjata dari Jawa. Di zaman Orde Baru, membicarakan suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA) malah bisa dikategorikan subversif,
yang ancaman hukumannya adalah mati. Maka nasionalisme yang selalu
diagung-agungkan itu pun menjadi lebih mirip kesadaran palsu, sesuatu yang
dipaksakan.
Tahun 1950-an Geertz sudah melihat kuatnya sentimen Jawa dan luar Jawa.
Beberapa peneliti lainnya malah melihat secara jelas bagaimana preferensi
politik dipengaruhi latar belakang etnik. Pada pemilu pertama, dengan
mengambil studi kasus di Kabupaten Simalungun, Sumut, William Liddle
melihat orang Batak Toba cenderung memilih Parkindo, Jawa memilih PNI,
Batak Selatan pada Masyumi, dan seterusnya.

Dengan berkembangnya pendidikan serta kemajuan di sektor informasi,
preferensi politik tersebut pastilah mengalami transformasi. Namun, hampir
bisa dipastikan latar belakang etnik tetaplah dominan. Dan ini bukanlah
pertanda ancaman bagi kesatuan dan persatuan, atau belum berkembangnya
masyarakat kita dari tatanan agraris yang kuno.
Di negara-negara maju latar belakang etnik tetap diperhitungkan sebagai
faktor yang mempengaruhi pilihan politik dalam setiap pemilu. Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari seperti di AS dan Eropa, pengelompokan etnik tampak
secara kasat mata, termasuk dalam hal pengelompokan permukiman. Banyak
kelompok etnik di sini berusaha untuk memperjuangkan otonomi. Kecuali di
Irlandia Utara dan Spanyol (kelompok Basque), mereka menjauhi jalan
kekerasan. Seperti Hawaii di AS, misalnya.
Di Swiss, nasionalisme masih tanda tanya karena warganya terbelah dalam
identitas masing-masing. Yakni, Italia, Perancis, dan Jerman. Mereka lebih
cenderung menggunakan bahasanya sendiri. Di Kanada dan Perancis,
pengelompokan dan stratifikasi sosial berdasarkan agama, ras, bahasa,
maupun latar belakang suku bangsa, masih terus mewarnai percaturan politik.
Sedang di Belgia, tiga partai politik utama adalah jembatan pengelompokan
orang-orang yang berlatar belakang Fleming dan Walloon. Mereka lebih
gembira disebut sebagai orang Fleming atau Walloon ketimbang Belgia.
Keadaan seperti ini jauh lebih menonjol di Asia dan Afrika, ujar Prof
Donald L Horowitz dalam tulisannya, Community Conflict: Policy and
Possibilities. Dengan mengambil kasus sejumlah negara ia berpendapat,
dibutuhkan waktu ratusan tahun untuk melahirkan suatu entitas nasional yang
utuh. Jika dikaitkan dengan Indonesia yang baru berusia 55 tahun, maka
wajarlah jika kita mawas diri.
***
SETELAH rontoknya Orde Baru, nasionalisme dan integrasi nasional yang kerap
dibanggakan pejabat dalam setiap acara resmi, terasa hambar. Sebab,
tiba-tiba saja keseimbangan hubungan antar-etnik menjadi sangat rawan, dan
setiap saat bisa berubah menjadi konflik terbuka, komunal yang
membahayakan, yang jika dibiarkan akan dan mengarah cenderung ke arah
genocide.
Hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dengan luar Pulau Jawa juga
makin goyah. Beberapa propinsi malah sudah bulat tekadnya untuk keluar dari
negara kesatuan RI. Sekarang referendum menjadi sebuah kata yang nyaris
sama saktinya dengan persatuan dan kesatuan di masa Orde Lama dan Orde Baru.
Di tengah badai krisis ekonomi yang belum pulih sejak tiga tahun silam,
situasi demikian terasa amat sangat membahayakan. Di mana-mana orang
melihat perpecahan bisa setiap saat menjungkirbalikkan integrasi nasional.
Masa depan makin tidak menentu. Sedang keamanan menjadi amat mahal di saat
amok massa lebih dominan ketimbang penegakan hukum. Berlindung di bawah
payung kelompok etnik menjadi pilihan saat anarki mulai merebak. Sebaliknya
hal ini akan mempercepat proses ke arah polarisasi.
Namun, sesungguhnya konflik etnik bukanlah sesuatu yang berseberangan
dengan peradaban modern. Pakar sosiologi konflik secara mengejutkan
membuktikan bahwa konflik tersebut justru banyak lahir di tengah akibat
arus modernisasi tersebut. Di zaman kuno, misalnya, tidak terdengar adanya
konflik tersebut, kecuali dalam masyarakat berburu atau bertani secara
berpindah-pindah, yang berperang memperebutkan daerah perburuan. Bahkan di
era kolonial, hubungan etnik bahkan seolah bisa "harmonis" dengan adanya
legitimasi atas dalam pengelompokan pada strata-strata sosial tertentu.

Memasuki abad ke-20, perang yang meningkat hingga pada upaya pemusnahan
etnik mulai bermunculan di berbagai belahan dunia, khususnya yang dilakukan
Nazi Jerman terhadap warga Yahudi. Sedikit agak mereda ketika Perang
Dingin. Terlebih lagi jargon internasionalisasi yang digaungkan blok
sosialis cenderung membela hak-hak kelompok minoritas. Namun, usai Perang
Dingin, terakhir disusul rontoknya tembok Berlin, konflik tersebut
meningkat tajam. Negara-negara satelit mereka di Afrika turut mengalami
guncangan demikian. Termasuk Ethiopia, Sudan, dan Angola.
Negara-negara yang tadinya masuk kubu blok sosialis tersebut, melakukan
modernisasi di berbagai sektor setelah menyadari jauh tertinggal oleh
"negara kapitalis" yang dimotori AS. Modernisasi sejauh, seperti
dikemukakan Fred W Riggs dalam tulisannya The Para-Modern Context of Ethnic
Nationalism, sejauh menyangkut nasionalisme, industrialisasi, dan
demokratisasi, merupakan lahan subur bagi konflik komunal.
Ketika kelompok yang satu merasa diperlakukan tidak adil dalam distribusi
sumber-sumber ekonomi maupun politik, nasionalisme itu dipertanyakan.
Sebaliknya pemerintahan transisisonal dengan jargon nasionalisme, acapkali
menjadikan golongan minoritas sebagai kambing hitam berbagai masalah dalam
negeri. Ini akan melahirkan perlawanan, yang dalam perjalanan waktu akan
berubah menjadi konflik terbuka.
Prof Huntington, pakar ilmu politik dan sejarawan, membuat prediksi
berdasarkan kurva siklus sejarah bahwa di era milenium ini konflik agama,
maupun nasionalisme lokal yang dibalut agama, akan sangat dominan. Hal yang
sama juga dikemukakan Prof Alvin Toffler dalam Gelombang Ketiga.
Tidak ada menyangka perang agama dan suku justru terjadi begitu dahsyat di
Eropa. Kemudian suatu negara terbelah menjadi sejumlah negara berdasarkan
klaim teritorial minoritas. Kita sungguh-sungguh berada di abad yang penuh
dengan hal-hal yang tadinya dianggap mustahil.
Dunia berubah begitu cepat. Sekarang banyak pengamat was was, khawatir hulu
ledak nuklir yang banyak tersimpan di negara-negara eks Uni Soviet ikut
digunakan dalam perang yang berkecamuk di sana. Sekarang pusat bahaya bukan
lagi pada konflik terbuka negara-negara adikuasa, seperti halnya tahun
1980-an ke bawah, tetapi justru pada perselisihan terbuka negara-negara
baru yang penduduknya sedikit, seperti Ukraina, misalnya.
Berbarengan dengan terbukanya dunia dari segala tembok dan benteng ideologi
Perang Dingin, nasionalisme palsu rontok dengan sendirinya. Perang yang
bergulir menenggelamkan identitas Yogoslavia, Uni Soviet, dan sejumlah
negara lain. Sebaliknya di negara yang begitu "beradab" seperti Jerman,
Perancis, dan Inggris, muncul barisan ultranasionalis.
***
DI Indonesia, persoalan menyangkut integrasi nasional selalu dilihat dari
kaca mata normatif. Sisa dimensi mistik kultur Jawa masih hidup dalam
nalar penguasa di Jakarta. Sehingga ucapan selalu dianggap lebih dominan
ketimbang kenyataan. Dengan kalimat "ada provokator atau skenario di balik
peristiwa itu," persoalan ini pun dianggap "tuntas."
Padahal dengan diabaikannya hak putra daerah menjadi bupati dan memimpin
daerah itu, sentimen etnik akan membentuk prasangka-prasangka negatif dan
ancaman yang datang dari kelompok "mereka." Ketegangan akan terjadi dalam
hubungan sosial. Sedikit saja ada penyulutnya segera berubah menjadi
konflik terbuka. Hal seperti inilah yang terjadi di berbagai daerah,
termasuk Poso, Maluku, Kalbar. Belum lagi dalam kaitannya dengan akses
terhadap sumber-sumber ekonomi.
Persoalannya, apakah kita siap dan dapat memahami hal ini dengan lapang
dada? Robert J Antonio dalam tulisannya After Postmodernism: Reactionary
Tribalism, melihat kegagalan sistem kapitalisme maupun modernisasi membawa
keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, akan menimbulkan kekecewaan umum
dan mendorong orientasi mereka pada kelompok-kelompok etnik. Lantas
globalisasi atau dunia tanpa mengenal batas wilayah ini bukanlah puncak
peradaban manusia.
Kita sedang berjalan menuju pusaran itu.


DEFERENSIASI DAN STRATIFIKASI SOSIAL

BESERTA PENGARUHNYA

Lia prastyawati

06413241025

PROGRAM PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Kalau kita memperhatikan masyarakat di sekitar kita, ada banyak sekali perbedaan-perbedaan yang kita jumpai. Perbedaan-perbedaan itu antara lain dalam agama, ras, etnis, clan (klen), pekerjaan, budaya, maupun jenis kelamin. Perbedaan-perbedaan itu tidak dapat diklasifikasikan secara bertingkat/vertical seperti halnya pada tingkatan dalam lapisan ekonomi, yaitu lapisan tinggi, lapisan menengah dan lapisan rendah. Perbedaan itu hanya secara horisontal. Perbedaan seperti ini dalam sosiologi dikenal dengan istilah Diferensiasi Sosial.

Sedangkan perebedaan yang ditimbulkan karena adanya tingkatan-tingkatan dalam ekonomi, kasta, status dan peranan dimasukan dalam lapisanb bertingkat atau yang sering kita sebut dengan stratifikasi sosial.

2. BATASANAN MASALAH

1. Pengertian deferensiasi sosial dan stratifikasi sosial

2. Perbedaan deferensiasi sosial dan stratifikasi sosial

3. Ciri-ciri yang mendasari diferensiasi sosial

4. Bentuk-bentuk deferensiasi sosial

5. Sebab-sebab terjadinya stratifikasi sosial

6. Proses terjadinya stratifikasi soasial

7. Kriteria dasar penentu stratifikasi sosial

8. Sifat stratifikasi sosial

9. Fungsi stratifikasi sosial

BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN DIFERENSIASI DAN STRATIFIKASI

Diferensiasi adalah klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan yang biasanyasama. Pengertian sama disini menunjukkan pada penggolongan atau klasifikasi masyarakat secara horisontal, mendatar, atau sejajar. Asumsinya adalah tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi daripada golongan lainnya.

Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin “stratum” (tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat.

Beberapa definisi stratifikasi sosial :

a. Pitirim A. Sorokin

Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarki).

b. Max Weber

Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege dan prestise.

c. Cuber

Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda.

2. PERBEDAAN DIFERENSIASI SOSIAL DAN STRATIFIKASI SOSIAL

DIFERENSIASI SOSIAL

STRATIFIKASI SOSIAL

1. Pengelompokan secara horizontal

2. Berdasarkan ciri dan fungsi

3. Distribusi kelompok

4. Genotipe Stereotipe

5. Kriteria biologis/fisik sosiokultural

Pengelompokan secara vertikal

Berdasarkan posisi, status,

kelebihan yang dimiliki, sesuatu

yang dihargai.

Distribusi hak dan wewenang

Kriteria ekonomi, pendidikan,

kekuasaan, kehormatan

3. CIRI YANG MENDASARI DIFERENSIASI SOSIAL

Diferensiasi sosial ditandai dengan adanya perbedaan berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Ciri Fisik

Diferensiasi ini terjadi karena perbedaan ciri-ciri tertentu.

Misalnya : warna kulit, bentuk mata, rambut, hidung, muka, dsb.

b. Ciri Sosial

Diferensiasi sosial ini muncul karena perbedaan pekerjaan yang menimbulkan cara pandang dan pola perilaku dalam masyarakat berbeda. Termasuk didalam kategori ini adalah perbedaan peranan, prestise dan kekuasaan.

Contohnya : pola perilaku seorang perawat akan berbeda dengan seorang karyawan kantor.

c. Ciri Budaya

Diferensiasi budaya berhubungan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat menyangkut nilai-nilai yang dianutnya, seperti religi atau kepercayaan, sistem kekeluargaan, keuletan dan ketangguhan (etos). Hasil dari nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dapat kita lihat dari bahasa, kesenian, arsitektur, pakaian adat, agama, dsb.

4. BENTUK-BENTUK DIFERENSIASI SOSIAL

Pengelompokan masyarakat membentuk delapan kriteria diferensiasi sosial.

a. Diferensiasi Ras

Ras adalah suatu kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri fisik bawan yang sama. Diferensiasi ras berarti pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri-ciri fisiknya, bukan budayanya.

Secara garis besar, manusia dibagi ke dalam ras-ras sebagai berikut :

1) Menurut A.L. Krober

• Austroloid, mencakup penduduk asli Australia (Aborigin)

• Mongoloid

- Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah dan Asia Timur)

- Malayan Mongoloid (Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Filiphina,

penduduk asli Taiwan)

- American Mongoloid (penduduk asli Amerika)

• Kaukasoid

- Nordic (Eropa Utara, sekitar L. Baltik)

- Alpine (Eropa Tengah dan Eropa Timur)

- Mediteranian (sekitar L. Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arab, Iran)

- Indic (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Langka)

• Negroid

- African Negroid (Benua Afrika)

- Negrito (Afrika Tengah, Semenanjung Malaya yang dikenal dengan

nama orang Semang, Filipina)

- Melanesian (Irian, Melanesia)

• Ras-ras khusus (tidak dapat diklasifikasikan ke dalam empat ras pokok)

- Bushman (gurun Kalahari, Afrika Selatan)

- Veddoid (pedalaman Sri Langka, Sulawesi Selatan)

- Polynesian (kepulauan Micronesia dan Polynesia)

- Ainu (di pulau Hokkaido dan Karafuto Jepang)

Gb.1 Macam-macam Ras Tinggal di Dunia

2) Menurut Ralph Linton

• Mongoloid, dengan ciri-ciri kulit kuning sampai sawo matang, rambut lurus, bulu badan sedikit, mata sipit (terutama Asia Mongoloid). Ras Mongoloid dibagi menjadi dua, yaitu Mongoloid Asia dan Indian. Mongoloid Asia terdiri dari Sub Ras Tionghoa (terdiri dari Jepang, Taiwan, Vietnam) dan Sub Ras Melayu. Sub Ras Melayu terdiri dariMalaysia, Indonesia, dan Filipina. Mongoloid Indian terdiri dari orangorang Indian di Amerika.

• Kaukasoid, memiliki ciri fisik hidung mancung, kulit putih, rambut pirang sampai coklat kehitam-hitaman, dan kelopak mata lurus. Ras ini terdiri dari Sub Ras Nordic, Alpin, Mediteran, Armenoid dan India.

• Negroid, dengan ciri fisik rambut keriting, kulit hitam, bibir tebal dan kelopak mata lurus. Ras ini dibagi menjadi Sub Ras Negrito, Nilitz, Negro Rimba, Negro Oseanis dan Hotentot-Boysesman.

b. Diferensiasi Suku Bangsa (Etnis)

Menurut Hassan Shadily MA, suku bangsa atau etnis adalah segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan biologis. Diferensiasi suku bangsa merupakan penggologan manusia berdasarkan ciri-ciri biologis yang sama, seperti ras. Namun suku bangsa memiliki ciri-ciri paling mendasar yang lain, yaitu adanya kesamaan budaya. Suku bangsa memiliki kesamaan berikut :

- ciri fisik - kesenian

- bahasa daerah - adat istiadat

Suku bangsa yang ada di Indonesia antara lain :

- di Pulau Sumatera : Aceh, Batak, Minangkabau, Bengkulu, Jambi,Palembang, Melayu, dsb.;

- di Pulau Jawa : Sunda, Jawa, Tengger, dsb.;

- di Pulau Kalimantan : Dayak, Banjar, dsb.;

- di Pulau Sulawesi : Bugis, Makasar, Toraja, Minahasa, Toli-toli,

Bolaang-Mangondow, Gorontalo, dsb.;

- di Kep. Nusa Tenggara : Bali, Bima, Lombok, Flores, Timor, Rote, dsb.;

- di Kep. Maluku dan : Ternate, Tidore, Dani, Asmat, dsb.

c. Diferensiasi Klen (Clan)

Klen (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klen merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi). Klen adalah sistem sosial yang 10 berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral baik melalui garis ayah (patrilineal) maupun garis ibu (matrilineal).

• Klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) antara lain terdapat pada:

- Masyarakat Batak (dengan sebutan Marga)

- Marga Batak Karo : Ginting, Sembiring, Singarimbun, Barus, Tambun,

Paranginangin;

- Marga Batak Toba : Nababan, Simatupang, Siregar;

- Marga Batak Mandailing : Harahap, Rangkuti, Nasution, Batubara, Daulay.

- Masyarakat Minahasa (klennya disebut Fam) antara lain :

Mandagi, Lasut, Tombokan, Pangkarego, Paat, Supit.

- Masyarakat Ambon (klennya disebut Fam) antara lain :

Pattinasarani, Latuconsina, Lotul, Manuhutu, Goeslaw.

- Masyarakat Flores (klennya disebut Fam) antara lain Fernandes, Wangge, Da

Costa, Leimena, Kleden, De- Rosari, Paeira.

• Klen atas dasar garis keturunan ibu (matrilineal) antara lain terdapat pada masyarakat Minangkabau, Klennya disebut suku yang merupakan gabungan dari kampuang-kampuang. Nama-nama klen di Minangkabau antara lain : Koto, Piliang, Chaniago, Sikumbang, Melayu, Solo, Dalimo, Kampai, dsb. Masyarakat di Flores, yaitu suku Ngada juga menggunakan sistem Matrilineal.

Gb.2 Suku Batak salah satu suku diIndonesia yang memakai sistem patrilineal

d. Diferensiasi Agama

Menurut Durkheim agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci. Agama merupakan masalah yang essensial bagi kehidupan manusia karena menyangkut keyakinan seseorang yang dianggap benar. Keyakinan terhadap agama mengikat pemeluknya secara moral. Keyakinan itu membentuk golongan masyarakat moral (umat). Umat pemeluk suatu agama bisa dikenali dari cara berpakaian, cara berperilaku, cara beribadah, dan sebagainya. Jadi diferensiasi agama merupakan pengelompokan masyarakat berdasarkan agama atau kepercayaannya.

1) Komponen-komponen Agama

Emosi keagamaan, yaitu suatu sikap yang tidak rasional yang mampu menggetarkan jiwa misalnya sikap takut bercampur percaya.

Sistem keyakinan, terwujud dalam bentuk pikiran/gagasan manusia seperti keyakinan akan sifat-sifat Tuhan dalam wujud alam gaib/ kosmologi, masa akhirat, cincin sakti, roh nenek moyang, dewa-dewa dan sebagainya.

Upacara keagamaan, yang berupa bentuk ibadah kepada Tuhan, dewa-dewa dan roh nenek moyang

Tempat ibadah, seperti Mesjid, Gereja, Pura, Wihara, Kuil, Klenteng.

Umat, yakni anggota salah satu agama yang merupakan kesatuan sosial

2) Agama dan Masyarakat

Dalam perkembangannya agama mempengaruhi masyarakat dan demikian juga masyarakat mempengaruhi agama atau terjadi interaksi yang dinamis. Di Indonesia kita mengenal agama Islam, agama Katolik, Protestan, Budha dan Hindhu. Dusamping itu berkembang pula agama atau kepercayaan lain, seperti Khong Hu Chu, Aliran Kepercayaan, Kaharingan dan kepercayaan-kepercayaan asli lainnya.

Gb. 3 Di sinilah berbagai umat melaksanakan ibadahnya

e. Diferensiasi Profesi (pekerjaan)

Profesi atau pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan manusia sebagai umber penghasilan atau mata pencahariannya. Deferensiasi profesi merupakan pengelompokan masyarakat didasarkan ada jenis pekerjaan atau profesinya biasanya berkaitan dengan keterampilan khusus. Misalnya guru memerlukan keterampilan khusus seperti pandai berbicara,suka membimbing, sabar, dsb. Berdasarkan perbedaan profesi kita mengenal kelompok masyarakat, berprofesi seperti guru, dokter, pedagang, buruh, pegawai negeri, tentara, dan sebagainya.

Perbedaan profesi biasanya juga akan berpengaruh pada perilaku sosialnya. Contohnya:perilaku seorang guru akan berbeda dengan seorang dokter ketika keduanya melaksanakan pekerjaannya.

f. Diferensiasi Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan kategori dalam masyarakat yang didasarkan pada perbedaan seks atau jenis kelamin (perbedaan biologis). Perbedaan biologis ini dapat kita lihat dari struktur organ reproduksi, bentuk tubuh, suara, dan sebagainya. Atas dasar itu, terdapat kelompok masyarakat laki-laki atau pria dan kelompok perempuan atau wanita.

g. Diferensiasai Asal Daerah

Diferensiasi ini merupakan pengelompokan manusia berdasarkan asal daerah atau tempat tinggalnya, desa atau kota. Terbagi menjadi:

- masyarakat desa : kelompok orang yang tinggal di pedesaan atau berasal dari desa;

- masyarakat kota : kelompok orang yang tinggal di perkotaan atau berasal dari kota.

Perbedaan orang desa dengan orang kota dapat kita temukan dalam hal-hal

berikut ini :

- perilaku

- tutur kata

- cara berpakaian

- cara menghias rumah, dsb.

h. Diferensiasi Partai

Demi menampung aspirasi masyarakat untuk turut serta mengatur negara/ berkuasa, maka bermunculan banyak sekali partai. Diferensiasi partai adalah perbedaan masyarakat dalam kegiatannya mengatur kekuasaan negara, yang berupa kesatuan-kesatuan sosial, seazas, seideologi dan sealiran.

5. SEBAB-SEBAB TERJADINYA STRATIFIKASI SOSIAL

Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat/seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.

Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pejabat/ketua atau pemimpin pasti menempati lapisan yang tinggi daripada sebagai anggota masyarakat yang tidak mempunyai tugas apa-apa. Karena penghargaan terhadap jasa atau pengabdiannya seseorang bisa pula ditempatkan pada posisi yang tinggi, misalnya pahlawan, pelopor, penemu, dan sebagainya. Dapat juga karena keahlian dan ketrampilan seseorang dalam pekerjaan tertentu dia menduduki posisi tinggi jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak mempunyai ketrampilan apapun.

6. PROSES TERJADINYA STRATIFIKASI SOSIAL

Stratifikasi sosial terjadi melalui proses sebagai berikut:

a. Terjadinya secara otomatis, karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir. Misalnya, kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat.

b. Terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti : pemerintahan, partai politik, perusahaan, perkumpulan, angkatan bersenjata.

7. KRITERIA DASAR PENENTU STRATIFIKASI SOSIAL

Kriteria atau ukuran yang umumnya digunakan untuk mengelompokkan para anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan tertentu adalah sebagai berikut :

a. Kekayaan

Kekayaan atau sering juga disebut ukuran ekonomi. Orang yang memiliki harta benda berlimpah (kaya) akan lebih dihargai dan dihormati daripada orang yang miskin.

b. Kekuasaan

Kekuasaan dipengaruhi oleh kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat. Seorang yang memiliki kekuasaan dan wewenang besar akan menempati lapisan sosial atas, sebaliknya orang yang tidak mempunyai kekuasaan berada di lapisan bawah.

c. Keturunan

Ukuran keturunan terlepas dari ukuran kekayaan atau kekuasaan. Keturunan yang dimaksud adalah keturunan berdasarkan golongan kebangsawanan atau kehormatan. Kaum bangsawan akan menempati lapisan atas seperti gelar :

- Andi di masyarakat Bugis,

- Raden di masyarakat Jawa,

- Tengku di masyarakat Aceh, dsb.

d. Kepandaian/penguasaan ilmu pengetahuan

Seseorang yang berpendidikan tinggi dan meraih gelar kesarjanaan atau yang memiliki keahlian/profesional dipandang berkedudukan lebih tinggi, jika dibandingkan orang berpendidikan rendah. Status seseorang juga ditentukan dalam penguasaan pengetahuan lain, misalnya pengetahuan agama, ketrampilan khusus, kesaktian, dsb.

8. SIFAT STRATIFIKASI SOSIAL

Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedak menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran.

a. Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Social Stratification)

Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja.

Contoh:

- Sistem kasta. Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana.

- Rasialis. Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih.

- Feodal. Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan/majikan.

b. Stratifikasi Sosial Terbuka (Opened Social Stratification)

Stratifikasi ini bersifatdinamis karenamobilitasnya sangatbesar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal.

Contoh:

- Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya.

- Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperolehpendidikan asal ada niat dan usaha.

c. Stratifikasi Sosial Campuran

Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya,seorang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.

9. Fungsi Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial dapat berfungsi sebagai berikut :

a. Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif, seperti menentukan penghasilan,tingkat kekayaan, keselamatan dan wewenang pada jabatan/pangkat/ kedudukan seseorang.

b. Sistem pertanggaan (tingkatan) pada strata yang diciptakan masyarakat yang menyangkut prestise dan penghargaan, misalnya pada seseorang yangmenerima anugerah penghargaan/ gelar/ kebangsawanan, dan sebagainya.

c. Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat melalui kualitas pribadi,keanggotaan kelompok, kerabat tertentu, kepemilikan, wewenang atau kekuasaan.

d. Penentu lambang-lambang (simbol status) atau kedudukan, seperti tingkah\ laku, cara berpakaian dan bentuk rumah.

e. Tingkat mudah tidaknya bertukar kedudukan.

f. Alat solidaritas diantara individu-individu atau kelompok yang menduduki sistem sosial yang sama dalam masyarakat.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Diferensiasi adalah klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan yang biasanyasama. Pengertian sama disini menunjukkan pada penggolongan atau klasifikasi masyarakat secara horisontal, mendatar, atau sejajar. Asumsinya adalah tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi daripada golongan lainnya.

Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin “stratum” (tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat

Diferensiasi sosial ditandai dengan adanya perbedaan berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut: ciri fisik, ciri sosial, dan ciri budaya.

Bentuk-bentuk dari diferensiasi sosial adalah diferensiasi ras, diferensiasi suku bangsa (etnis), diferensiasi klen (clan), diferensiasi agama, diferensiasi profesi (pekerjaan), diferensiasi jenis kelamin, diferensiasai asal daerah, diferensiasi partai.

Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat/seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.

Kriteria dasar penentu stratifikasi sosial adalah kekayaan, kekuasaan, keturunan, kepandaian/penguasaan ilmu pengetahuan. Sifat stratifikasi sosial adalah stratifikasi sosial tertutup (closed social stratification), stratifikasi sosial terbuka (opened social stratification)Stratifikasi Sosial Campuran

Daftar Pustaka

Drs. Nursal Luth & Drs. Daniel Fernandez.1989. Sosiologi dan Antropologi jilid 1.PT. Galaxy Puspa Mega : Jakarta

Drs. Nursal Luth.1992. Kamus Sosiologi dan Antropologi. PT. Galaxy Puspa Mega : Jakarta.

http://www.dikmenum.go.id/elearning/bahan/kelas2/images/DIFERENSIASI%20SOSIAL%20DAN%20%20SRATIFIKASI%20SOSIAL.pdf


http://rapolo.wordpress.com/2008/05/04/kosmologi-masyarakat-batak/

Kosmologi Masyarakat Batak

Antara berpuluh-puluh suku kaum bangsa Melayu di Nusantara, masyarakat Batak adalah yang paling unik dengan sejarah budaya dan agama yang melingkarinya. Keunikan ini bukan sahaja kerana masyarakat Batak disinonimkan sebagai ‘masyarakat Kanibal’ tetapi kerana masyarakat Batak mempunyai budaya dan tamadun yang tinggi disebalik amalan kanibalistik.

Tradisi masyarakat Batak di Nusantara mempunyai sejarah yang lama, menjangkau jauh sehingga lebih kurang 300 SM hingga 600 SM, bertumpu di Sumatra, Indonesia. Pada peringkat awal (abad pertama) Sumatra di kenali sebagai Swarnabumi (bumi emas) oleh pedagang India - sejajar dengan penjumpaan emas di sini. Minat pedagang India terhadap emas menyebabkan pedagang-pedagang ini berbaik-baik dengan masyarakat pribumi - Batak. Dari semasa kesemasa, adat dan budaya pedagang India dihamparkan kepada masyarakat Batak yang menerimanya dengan mudah. Dalam sedikit masa, budaya masyarakat Batak banyak meresap budaya dan adat Hindu.

Sehingga kini masyarakat Batak paling banyak terdapat di Sumatra, terutamanya di kawasan Tapanuli. Disamping Sumatra masyarakat Batak juga menghuni kawasan-kawasan lain Nusantara, terutamanya Pulau Jawa dan kepulauan lain Indonesia, Semenanjung Malaysia, Singapura, Sabah, Sarawak, Brunei, Filipina, Sulawesi dan sebagainya. Pola pergerakan masyarakat Batak dari Sumatra ke kawasan-kawasan lain di Nusantara dipengaruhi oleh dua faktor. Pertamanya, kedatangan penjajah barat ke Nusantara pada abad ke-17 dan keduanya, ‘adat merantau’ yang merupakan sebahagian daripada budaya masyarakat Batak.

Sebagai konsekuen penjajahan, sebilangan masyarakat Batak menjadi hamba abdi yang dijual dalam pasaran. Pada abad ke 19, penjualan hamba Batak adalah ghalib di Sumatra dan Nusantara umumnya. Lebih kurang 300 hingga 600 hamba Batak dijual di Singapura dan Pulau Pinang setiap tahun oleh Inggeris. Apa yang menarik ialah hamba-hamba Batak ini dijual oleh masyarakat Batak sendiri kepada Inggeris di Sumatra yang kemudiannya dijual di tempat-tempat lain.

Hasil daripada proses migrasi hamba Batak, berkembanglah populasi Batak di Malaysia, terutamanya di kawasan Utara Semenanjung Malaysia. Diskripsi fizikal masyarakat Batak yang gelap, berbadan tegap dan berambut kerinting dapat dikesan di Utara Semenanjung sehingga kini.

Namun dari segi keagamaan dan kepercayaan, masyarakat Batak di Malaysia sudah terpisah sama sekali daripada ikatan adat dan kepercayaan masyarakat Batak di Sumatra yang masih bersifat animistik dan Javaistik. Superioriti ‘adat’ digantikan dengan ‘agama Islam’ bagi masyarakat Batak di Malaysia. Natijahnya, corak hidup dan pemikiran masyarakat Batak di Malaysia, baik di Pulau Pinang, Perak, Pahang mahupun Kelantan tidak lagi merefleks budaya dan adat masyarakat Batak asal dari Sumatra.

Kajian ini menumpu kepada gambaran kosmologi Batak Sumatra, sebagai representatif masyarakat Batak Nusantara. Kosmologi masyarakat Batak di Malaysia adalah tidak lain daripada kosmologi Islam.

Berbalik kepada perkembangan budaya Batak. Menurut Edwin M. Loeb dalam bukunya ‘Sumatra : Its History and People’, masyarakat Batak mewarisi tradisi yang berupa adunan budaya setempat dengan agama-agama besar dunia yang merebak ke kawasan ini sejak abad pertama lagi. Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristianiti dan Taoisme, semuanya sampai ke Sumatra dahulu sebelum merebak ke tempat-tempat lain di Indonesia dan kepulauan Melayu yang lain.

Kehadiran budaya Hindu pada persekitaran abad pertama disusuli dengan kedatangan agama Buddha yang bersinskrit dengan agama Hindu dan kepercayaan lokal. Kemasukan Islam pada persekitaran abad ke 8 hingga 13 makin merencahkan lagi agama masyarakat Batak dan Sumatra umumnya, yang sudah
sedia bersinskrit dengan unsur-unsur lokal, Hinduisme dan Buddhoisme. Hasilnya, lahirlah ‘adat’, fenomena yang penting dalam kehidupan masyarakat Batak berbanding epistomologi agama.

Adalah tidak keterlaluan untuk dinyatakan bahawa masyarakat Batak secara umumnya memperolehi hampir kesemua fahaman spiritualnya dari India, terutamanya Hinduisme. Fahaman Hindu- Batak (pengadunan Hinduisme dengan kepercayaan lokal) kemudiannya merebak ke tempat-tempat lain di Indoensia.

Kata Loeb, antara beberapa elemen Hindu yang terdapat dalam kepercayaan Batak ialah idea ‘Pencipta’ dan ‘ciptaan’, stratifikasi syurga (langit), kebangkitan syurga (langit), nasib atau kedudukan roh selepas seseorang meninggal dunia, pengorbanan binatang, dan shamanisme (trans atau rasuk) sebenar-benarnya.

Fahaman keagamaan masyarakat Batak dapat dibahagikan kepada 3 bahagian: Kosmologi dan kosmogoni - dunia Tuhan (kedewaan) Konsep penduduk asal tentang roh. Kepercayaan tentang hantu, iblis dan nenek moyang.

Stratifikasi fahaman agama seperti di atas mirip kepada salah satu daripada fahaman Hindu. Orang Batak membahagikan kosmologinya kepada 3 bahagian. Bahagian atas adalah tempat bagi Tuhan dan Dewa. Bahagian tengah (dunia) untuk manusia dan bahagian bawah (bawah bumi) untuk yang mereka yang telah
mati - hantu, syaitan, iblis dan sebagainya.

Masyarakat Batak mempercayai kewujudan banyak Tuhan. Tuhan yang paling besar atau tertinggi kedudukannya ialah ‘Mula djadi na bolon’ - permulaan awal dan maha, atau ‘dia yang mempunyai permulaan dalam diriNya’. Konsep ini mempunyai persamaan dengan konsep ‘Brahman’ atau kala purusha Hindu.

‘Mula djadi na bolon’ berbentuk personal bagi masyarakat Batak dan tinggal di syurga yang tertinggi. Ia juga dihadiri oleh atribut-atribut ‘maha kebal’(immortality) dan ‘maha kuasa’ (omnipotence), justeru berupa pencipta segala-galanya dalam alam termasuk Tuhan. Dalam kata lain Mula djadi na bolon hadir dalam segala ciptaan.

Bersama-sama konsep Muladjadi na bolon - Tuhan Yang Maha Besar, masyarakat Batak secara pragmatiknya akrab dengan konsep Debata na tolu (Tiga Tuhan) atau apa yang dipanggil Tri-Murti atau Trinity dalam kosmologi Hindu.

Tiga prinsipal yang mewakili Debata na tolu ialah Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan. Batara Guru disamakan dengan Mahadewa (Shiva) manakala Soripata disamakan dengan Maha Vishnu. Hanya Mangalabulan mempunyai sejarah kelahiran yang agak kabur dan tidak memperlihatkan persamaan dengan
imej-imej kosmologi Hindu.

Antara tiga pinsipal ini, Batara Guru mempunyai kedudukan yang tinggi dan utama dikalangan masyarakat Batak, kerana sifatNya sebagai pencipta dan pada masa yang sama, hero kebudayaan yang mengajar kesenian dan adat kepada masyarakat Utara Sumatra ini.

Mangalabulan sebaliknya adalah prinsipal yang agak kompleks kerana disebalik merahmati dan menunaikan kebaikan dan kebajikan, Mangalabulan juga melakukan kejahatan atas permintaan, lantas menjadi Tuhan pujaan dan penaung bagi perompak dan pencuri - penjenayah secara umumnya.

Disamping tiga prinsipal utama ini - Debata na tolu, masyarakat Batak juga mempunyai banyak debata atau Tuhan yang lebih rendah stratifikasinya, misalnya debata idup (Tuhan Rumah), boraspati ni tano (spirit bumi/tanah) dan boru saniang naga (spirit air), Radja moget pinajungan (penjaga pintu syurga), Radja Guru (menangkap roh manusia) - tugasnya sama seperti malaikat Izarail dalam epistomologi Islam atau Yama dalam Hinduisme.

Debata adalah derivasi Sanskrit, deivatha. Dalam epistomologi Batak, debata mewakili Tuhan.Masyarakat Batak, seperti masyarakat Hindu, menerima kehidupan dalam nada dualiti. Kebaikan dan kejahatan saling wujud dalam kehidupan, dengan kebaikan menjadi buruan ultimat manusia.

Prinsipal jahat bagi masyarakat Batak ialah Naga Padoha, prinsipal yang terdapat pada aras paling bawah dalam hieraki tiga alam - iaitu di bawah bumi. Bersama-sama Naga Padoha ialah cerita bagaimana anak Batara Guru, Baro deak pordjar yang enggan mengadakan hubungan dengan Mangalabulan di langit, turun ke lautan primodial (sebelum bumi dicipta). Apabila Batara Guru mengetahui insiden ini, dia menghantar segenggam tanah melalui burung layang-layang yang diletakkan pada lautan primodial. Hasilnya terjadilah
bumi. Kemudian, dicipta pula tumbuhan, binatang dan haiwan. Hasil daripada hubungan anak Batara Guru dengan seorang hero dari langit (dihantar oleh Batara Guru) lahir generasi manusia.

Naga Padaho yang asalnya berkedudukan di lautan primodial telah disempitkan kedudukannya kerana pembentukkan dan perkembangan bumi dari semasa ke semasa. Kerana kesempitan ini, setiap pergerakkan Naga Padaho mengakibatkan gempa bumi. Mitologi ini selari dengan konsep fatalistik Batak bahawa dunia
akan hancur pada satu masa nanti, apabila Naga Padaho berjaya membebaskan diri daripada himpitan Batara Guru.

Lee Khoon Choy, dalam bukunya Indonesia Between Myth and Reality mempunyai cerita asal usul dunia yang berbeza. Menurut Lee, pada awalnya terdapat satu Tuhan iaitu Ompung Tuan Bubi na Bolon - Tuhan omnipresent dan omnipotent. Ompung bermakna ‘moyang’. Semasa dia, Ompung Tuan Bubi na Bolon bersandar pada sebatang pohon banyan (beringin atau wiringin), ranting yang reput patah dan jatuh ke dalam laut. Ranting reput ini menjadi ikan dan hidupan air yang lain. Kemudian jatuh lagi ranting dan terciptalah serangga. Ranting ketiga yang jatuh membentuk binatang seperti rusa, monyet, burung dan
sebagainya. Ini disusuli dengan penciptaan kerbau, kambing, babi hutan dan sebagainya.

Hasil daripada perkhawinan dua ekor burung yang baru dicipta iaitu Patiaraja (lelaki) dan Manduangmandoing (perempuan) bermulanya kelahiran manusia daripada telur Manduangmandoing ketika berlakunya gempa bumi yang dasyat.

Meskipun berbeza dengan Loeb, mitos asal usul yang dibawa oleh Lee memperlihatkan persamaan pada dasarnya- asal usul manusia daripada telur dan pengaruh gempa bumi (karenah Naga Padoha).
Dilihat dari mata kasar, kisah asal usul ini berupa mitos yang tidak dapat diterima akal tetapi kekayaan mitos ini ialah, ia juga berupa alegori yang kaya dengan persoalan mistisisme, apabila dilihat dari perspektif intrinsik - hampir sama seperti peperangan dalam Mahabaratha dan Ramayana.
Apabila dikiaskan dengan mistisisme Hindu-Buddha, Naga padoha adalah tidak lain daripada Kundalini yang berkedudukan di tengah-tengah jasad manusia (dekat anus).

Dalam epistomologi Vaishnava (salah satu daripada aliran Hindu), avatara Maha Vishnu - Krishna Paramatma berlawan dengan Naga Kaliya, yang akhirnya tunduk kepada Krishna Paramatma. Secara intrinsik, alegori ini mengisahkan kejayaan Krishna Paramatma menawan nafsu (dilambangkan oleh naga/ular). Kalau Naga Padoha adalah Kundalini, bumi adalah jasad mansia, manakala Batara Guru adalah roh atau debata atau tondi yang hadir bersama-sama manusia apabila dicipta. Simbologi Naga (Ular) dalam mitologi Batak adalah universal sifatnya. Dalam epistomologi agama-agama Semitic, kita dapati watak ular diberikan pewarnaan hitam(jahat). Kisah pembuangan Adam dan Hawa (Eve) ke bumi adalah akibat hasutan ular terhadap Hawa yang kemudiannya menggoda Adam dengan kelembutannya.

Ironinya, masyarakat Batak percaya suatu masa nanti dunia akan hancur apabila Naga padoha bangun memberontak. Tetapi, selagi rahmat dan bimbingan Batara Guru masih ada pada manusia, selagi itu mereka akan dapat menundukkan Naga Padoha dan hidup dalam harmoni. Tidak hairanlah sekiranya Batara Guru
menjadi debata paling popular bagi masyarakat Batak dan Indonesia umumnya.

Koding, seorang lagi sejarahwan berpendapat terdapat banyak elemen identikal diantara mitologi Batak dengan Hindu. Boru deak pordjar - anak Batara Guru adalah Dewi Saraswati dalam Hinduimse. Batara Guru di samakan dengan Mahadewa (Shiva) dan juga dengan Manu - manusia pertama di bumi. Brahma dipersonifikasikan dengan watak Svayambhu - dia yang wujud daripada dirinya sendiri.

‘Telur dunia emas’ dari mana asalnya Svayambhu sebagai Brahman dan mencipta manusia dan Tuhan (tradisi Hindu), diubahsuai dalam mitologi Batak kepada tiga biji telur, dari setiap satunya lahir satu Tuhan. Justeru, ayam (manuk) yang melahirkan telur ini dianggap utama dalam kedudukan mitologi spiritual masyarakat Batak. Telur manuk (ayam) ini, dalam tradisi Tantrik dipanggil salangram atau speroid kosmik.
‘Roh’ adalah elemen terpenting agama dan adat masyarakat Batak. Konsep supernatural (mana) pula, hampir-hampir tidak wujud di sini. Konsep yang dominan dikalangan masyarakat Batak ialah tondi. Menurut Warneck, otoriti unggul kajian tentang masyarakat Batak, tondi ialah ‘spirit’ (tenaga halus), ‘roh manusia’, ‘individualiti manusia’ yang wujud sejak manusia berada dalam rahim ibunya lagi. Pada ketika ini ia menentukan masa depan anak yang bakal dilahirkan itu.

Tondi wujud hampir kepada badan dan sesekala meninggalkan badan. Peninggalan tondi menyebabkan orang berkenaan jatuh sakit. Justeru itu, pengorbanan dilakukan oleh seseorang untuk menjaga tondinya agar sentiasa berada dalam keadaan baik .Semua orang mempunyai tondi tetapi kekuasaan tondi berbeza daripada seorang dengan seorang yang lain. Hanya tondi tokoh-tokoh besar dan utama kedudukannya dalam masyarakat mempunyai sahala - kuasa supernatural (luar biasa atau semangat/keramat). Rasional kepada perbezaan ini sama dengan konsep fatalistik Hindu, yang beranggapan bahawa segala kecelakaan hidup telah ditetapkan sebelum lahir lagi dan tidak boleh dihindari. Kerana kelahiran adalah dalam kedudukan yang baik maka tondinya juga akan berada dalam kedudukan yang baik (berkuasa).

Bilangan tondi yang terdapat pada seseorang bervariasi daripada satu dan tujuh. Sebahagian masyarakat Batak percaya bahawa setiap orang hanya mempunyai satu tondi manakala sebahagian lain mengangkakan tujuh tondi bagi setiap individu.

Konsep lain berkaitan dengan tondi ialah begu (hantu atau iblis).

Begu ialah tondi orang mati. Bukan semua tondi adalah begu . Tondi yang natural tanpa perkaitan dengan kejahatan dikenali sebagai samaon. Setapak lebih tinggi daripada samaon ialah semangat atau debata (sama tahapnya dengan Tuhan) yang bervariasi mengikut fungsi dan kekuasaannya.
Shamanisme - tradisi menurunkan roh atau tondi orang yang sudah mati kedalam tubuh orang lain (yang masih hidup) yang dilakukan semata-mata untuk berkomunikasi dengan roh orang-orang yang sudah mati adalah tradisi yang paling popular di Utara Sumatra. Shaman (orang yang dituruni tondi atau ‘si baso’) terdiri daripada kedua-duanya, lelaki dan perempuan. Masyarakat Batak primitif yang tidak akrab dengan shamanisme (terutamanya di kepulauan Barat Sumatra) bergantung kepada dukun (seer - bahasa Inggeris atau ‘kavi’ - bahasa Sanskrit). Bezanya dukun dengan shaman, tondi (juga debata dan spirit) berkomunikasi secara personal dengan dukun. Dukun kemudian akan menyampaikan mesej wujud halus
(tondi, debata dan spirit) atau mengubat pesakit mengikut pesanan wujud halus.

Shaman pula hanya berfungsi sebagai media untuk membolehkan tondi berkomunikasi dengan orang-orang yang ingin berurusan dengannya. Perhubungan ‘tondi’ dengan orang yang memanggilnya adalah langsung, berbeza dengan hubungan melalui dukun (orang ketiga).

Dukun Batak biasanya lelaki dan dikenali sebagai datu. Meskipun dukun Batak tidak mempunyai satu sistem atau institusi bagi melatih datu - kelompok masyarakat ini menjadi penjaga dan bertanggungjawab memperturunkan ritual esoterik dan pembelajaran (spiritual) Hindu dan lokal dari generasi ke generasi. Seperkara yang menarik pada amalan masyarakat Batak ialah konsep melihat kehidupan pada detik ‘kini dan sini’(here and now). Mereka percaya tondi yang ada pada mereka perlu dijaga dan dihidupi dengan sebaik-baiknya di sini (dunia) dan kini (sekarang). Mereka tidak menunggu bagi masa akan datang untuk mendapat balasan. Konsep ini meskipun boleh dilihat dari perspektif eksistensialis, juga boleh dilihat dari sudut mistisisme.

Hampir kesemua aliran mistis (biar agama apa sekalipun) menekankan umatnya agar menghidupi kehidupan dengan sebaik mungkin. Biasanya, jalan tengah digunakan, yakni bukan bersandar kepada semalam yang sudah berlalu dan esok yang belum pasti, tetapi menghidupi detik-detik kini dalam nada ke’sahaja’an. Konsep roh di kalangan masyarakat Batak berligar kepada ‘tenaga’ atau ‘kuasa’. Tenaga ini sekiranya berada dalam keadaan harmonis akan membawa kepada kebaikan. Sebaliknya kalau dihampakan atau dimurkakan, akan memberi kesan buruk kepada kehidupan manusia dan alam.

Meski banyak mendapat pengaruh agama Hindu, kepercyaan masyarakat Batak mempunyai elemen lokalnya yang tersendiri seperti konsep tondi. Tondi masyarakat Batak tidak boleh disempitkan sebagai aura - lilitan tenaga yang sentiasa ada dikeliling manusia. Malah tondi juga tidak boleh dirumuskan sebagai roh yang terdapat dalam jasad manusia. Tondi adalah adunan beberapa fahaman daripada beberapa tradisi yang kemudiannya membentuk tradisi kosmologi Batak yang unik.

Entri ini ditulis oleh rap olo dan dikirimkan oleh Mei 4, 2008 at 7:02 am dan disimpan di bawah Adat Toba, Budaya dan Adat Batak, Kosmologi Masyarakat Batakdengan pengait kata (tags) Batak, Batara Guru, Boraspati, datu, debata idup, Debata na tolu, Mangalabulan, Mula djadi na bolon, Naga Padoha, Radja Guru, Radja moget, Saniang Naga, Soripada, Tondi. Tandai permalink. Telusuri setiap komentar di sini dengan RSS feed kiriman ini. Tulis komen atau tinggalkan trackback: URL Trackback.

About the author

This is the area where you will put in information about who you are, your experience blogging, and what your blog is about. You aren't limited, however, to just putting a biography. You can put whatever you please.