soeharto

Written by blog_electrical engineering on Kamis, 05 Juni 2008 at 03.58

Setelah mengalahkan rekor berkuasa Presiden Seumur Hidup Soekarno, akhirnya Soeharto pun tiba pada ajalnya. Mengingat perbuatan Soeharto semasa hidupnya akhirnya diputuskan bahwa dia harus masuk neraka. Namun mengingat sejumlah kebaikan dan hal meringankan Soeharto selama hidupnya, seperti membunuhi musuhnya dengan tersenyum, memiskinkan rakyat dan negerinya dengan dalih pembangunan hingga aksi konkret memimpin gerakan negara miskin, penjaga neraka menyilakan Soeharto memilih sendiri jenis siksaan yang harus dijalaninya.

Oleh penjaga neraka ia diajak masuk sebuah bilik. Di tempat itu para penyiksa tampak sedang mengasah pedang dan membakar tusukan besi hingga membara. Soeharto yang bergidik mellihat orang ditusuki dan disundut besi panas menyatakan, ‘‘Saya mau lihat tempat yang lain."

Soeharto lantas masuk ke sebuah bangsal luas. Tampak sejumlah penyiksa menancapkan kait pancing ke sejumlah bagian tubuh seseorang. Ada yang di siku, ada yang di perut, ada yang didada, pantat, paha dan sebagainya. Mata pancing itu kemudian digunakan untuk mengerakkan tubuh para pendosa di bangsal itu untuk digantung selama berjam-jam. Bila otot yang jadi tempat kait jebol mereka akan jatuh ke tanah. Para penjaga akan kembali
menancapi tubuh-tubuh itu untuk kemudian digantung kembali. Begitu seterusnya.

Rupanya Soeharto tak tahan dengan pemandangan itu. "Saya ingin melihat yang lain"’ ujarnya.

Begitulah. Dari bilik ke bilik, bangsal ke bangsal, Soeharto terus memilih. Hampir semua wilayah neraka telah dijelajahinyn. Tiba-tiba ia berhenti di sebuah empang yang dipenuhi dengan berbagai jenis tinja, mulai dari tinja manusia hingga kotoran babi. Rupanya Soeharto tertarik menyaksikan para terhukum yang hanya berendam sebatas bahu

"Ah, ini sih enteng. Kalau cuma begiru saja, gue juga betah disiksa selamanya," ucap Soaharto.

Maka ia lalu digiring nyebur ke empang dan ikut berendam sebatas bahu."

Baru semenit Soharto berendam, tiba-tiba terdengar suara yang memekakkan telinga dan disambung teriakan penjaga neraka yang berdiri di pinggir empang, "Yaa..., waktu istirahat sudah habis. Sekarang saatnnya untuk kembali menyelam!"

Di neraka ada paya-paya berisi kotoran manusia yang amat luas. Para pembohong, penjahat, pemerkosa dan lainnya dihukum di situ. Kian berat tingkat kejahatan yang pernah dilakukan seseorang selama hidupnya kian dalam ia terbenam dalam paya-paya itu.

Di sebuah kerumunan di paya-paya berkumpulah sejumlah orang ternama. Ada Hitler, Mobutu Sese Seko, Igor Mengele, Idi Amin, Pol Pot, Marcos dan Soeharto. Hampir semuanya terbenam sebatas mulut dalam paya-paya menjijikkan itu. Mereka kepayahan di sengat panas dan bau yang bikin perut mual. Hanya Soeharto yang berdiri di atas pinggangnya, sambil tersenyum-senyum.

Semuanya memandang Soeharto dengan cemburu. Rupanya akhirnya mereka tak tahan juga melihat Soeharto yang nasibnya lebih baik.

"Engkau pemusnah manusia terbesar setelah Hitler masa hukumanmu ringan. Aku cuma membunuh setengah juta orang Kamboja dibenamkan hingga mulutku susah bernafas. Engkau yang memusnahkan dua juta rakyatmu sendiri pada 1965 cuma dihukum sepinggang," teriak Pol Pot.

"Iya, korupsimu kan lebih banyak dari yang aku lakukan," tambah Marcos.

"Kamu menindas rakyatmu lebih lama ketimbang yang aku lakukan selagi aku hidup," sahut Mobutu.

Rupanya perselisihan di antara penghuni neraka itu disaksikan oleh penjaga neraka dari kejauhan. "Sudahlah kalian sesama penjahat jangan ribut. Apa kalian tak tahu kalau Soeharto yang kalian cemburui itu sebetulnya berdiri di atas pundak istrinya, Bu Tien."
diambil dari
http://www.geocities.com/CapitolHill/senate/9577/neraka2.html

tools sms gratis lewat internet

Written by blog_electrical engineering on at 02.30

tools sms gratis lewat internet

mau sms gratis lewat internet gampang bagi kamu yang kere kere

kayak saya kamu bisa sms gratisan disini sepuasnya sampe bosan

tanpa daftar

namanya adalh TT massanger hanya memiliki 3.83 MB

baguskan lgian gampang instalnya

ini dia linknya

http://www.download.com/SMS-Tools/3150-10440_4-0.html

liat disana TT massanger and klik download nah tinggal nunggu downloadnya dan install gampang kan

antivirus free download

Written by blog_electrical engineering on at 01.33

kaspersky antivirus adalah salah satu antivirus terbaik diantara
semua antivirus yang telah diciptakan
kaspersky mempunyai kekuatan deteksi yang sangat kuat
terhadap virus ,trojan maupun worm download dengan link ini
http://www.gold-software.com/KasperskyAnti-VirusPersonalPro-file2453.html

tambahkan widget mu

Written by blog_electrical engineering on Rabu, 04 Juni 2008 at 02.17

tambahkan widget mu
bagi kamu kamu web master dan blogger sejati
tingkan kan traffic pengunjung mu dan widget widget mantap
nih link nya kamu bisa masukkan apa aja
game , traffic guest dlllll
http://www.widgetbox.com

Pendekar Wanita dari Tanah Bata

Written by blog_electrical engineering on Selasa, 03 Juni 2008 at 06.36



Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang pendekar wanita, Butet. Sebelum lulus dari Pandapotan silat, ia harus menempuh ujian. Agar bisa berkonsentrasi, dia memutuskan untuk menyepi ke gunung dan berlatih. Saat di perjalanan, Butet merasa lapar sehingga memutuskan untuk mampir di Pasaribu setempat.

Beberapa pemuda tanggung yang lagi nonton sabung ayam sambil Toruan, langsung Hutasoit-soit melihat Butet yang seksi dan gayanya yang Hotma itu. Tapi Butet tidak peduli, dia jalan Sitorus memasuki rumah makan tanpa menanggapi, meskipun sebagai perempuan yang ramah tapi ia tak gampang Hutagaol dengan sembarang orang.

Naibaho ikan gurame yang dibakar dengan Batubara membuatnya semakin berselera. Apalagi diberi sambal terasi dan Nababan yang hijau segar. Setelah mengisi perut, Butet melanjutkan perjalanan.

Ternyata jalan kesana berbukit-bukit. Kadang Nainggolan, kadang Manurung. Di tepi jalan dilihatnya banyak Pohan. Kebanyakan Pohan Tanjung. Beberapa di antaranya ada yang Simatupang diterjang badai semalam.

Begitu sampai di atas gunung, Butet berujar, “Wow, Siregar sekali hawanya.” Berbeda dengan kampungnya yang Panggabean.
Hembusan Perangin-angin pun sepoi-sepoi menyejukkan, sambil diiringi Riama musik dari mulutnya. Sejauh Simarmata memandang, warna hijau semuanya. Tidak ada tanah yang Girsang, semuanya Singarimbun. Tampak di seberang, lautan dan ikan Lumban-lumban.

Terbawa suasana, mulanya Butet ingin berenang. Tetapi yang ditemukannya hanyalah bekas kolam ikan yang akan di-Hutauruk dengan Tambunan tanah. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir hutan saja, yang suasananya asri, meskipun nggak ada Tiur melambai kayak di pantai.

Sedang asyik-asyiknya menikmati keindahan alam, tiba-tiba dia dikejutkan oleh seekor ular yang sangat besar. “Sinaga!” teriaknya ketakutan sambil lari Sitanggang-langgang. Celakanya, dia malah terpeleset dari Tobing sehingga bibirnya Sihombing.
Karuan Butet menangis Marpaung-paung lantaran kesakitan. Tetapi dia lantas ingat, bahwa sebagai pendekar pantang untuk menangis. Dia harus Togar.

Maka, dengan menguat-nguatkan diri, dia pergi ke tabib setempat untuk melakukan pengobatan.
Tabib tergopoh-gopoh Simangunsong di pintu untuk menolongnya. Tabib bilang, bibirnya harus di-Panjaitan. “Hm, biayanya Pangaribuan,” kata sang tabib setelah memeriksa sejenak.

“Itu terlalu mahal. Bagaimana kalau Napitupulu saja?” tawar si Butet.

“Napitupulu terlalu murah. Pandapotan saya kan kecil”.

“Jangan begitulah. Masa’ tidak Siahaan melihat bibir saya begini?” Apa saya mesti Sihotang, bayar belakangan? Nggak mau kan?”

“Baiklah, tapi pakai jarum yang Sitompul saja,” sahut sang mantri agak kesal.

“Cepatlah! Aku sudah hampir Munthe. Saragih sedikit tidak apa-apalah.”

Malamnya, ketika sedang asyik-asyiknya berlatih sambil makan kue Lubis kegemarannya, sayup-sayup dia mendengar lolongan Rajagukguk. Dia Bonar-Bonar ketakutan. Apalagi ketika mendengar suara di semak-semak dan tiba-tiba berbunyi “Poltak!” keras sekali.

“Ada Situmorang?” tanya Butet sambil memegang tongkat seperti stik Gultom erat-erat untuk menghadapi Sagala kemungkinan. Terdengar suara pelan, “Situmeangggg”.

“Sialan, cuma kucing,” desahnya lega. Padahal dia sudah sempat berpikir yang Silaen-laen.

Selesai berlatih, Butet pun istirahat. Terkenang dia akan kisah orang tentang Hutabarat di bawah Tobing pada jaman dulu dimana ada Simamora, gajah Purba yang berbulu lebat.

Keesokan harinya, Butet kembali ke Pandapotan. Di depan ruang ujian dia membaca tulisan: “Harahap tenang! Ada ujian.”

“Wah telat, emang udah jam Silaban sih”. Maka Siboro-boro dia masuk ke ruangan sambil menyanyi-nyanyi. Di-Tigorlah dia sama gurunya, ”Butet, kau jangan Siringo-ringo ribut! Bikin kacau konsentrasi temanmu.”

Butet dengan tanpa Malau-Malau langsung Sijabat tangan gurunnya, “Nggak Pakpahan guru? Sekali-sekali.”

Akhirnya, luluslah Butet dan menjadi orang yang disegani karena mengikuti wejangan guru Pandapotan-nya untuk selalu “Simanjuntak gentar, Sinambela yang benar!” []

Dikutip dari http://emonkumis.multiply.com/ Mohon maaf dan izin kepada penulis “cerpen plesetan marga & nama Batak” ini, BatakNews sengaja mengganti judulnya. Tapi isinya sama sekali nggak diubah kok. Terima kasih banyak, cerita anda akan menghibur banyak orang yang lagi stress. :-(

kesaksian terhadap yesus

Written by blog_electrical engineering on at 06.26

taken from : [email]elia-stories@yahoogroups.com[/email]
(subscribe : [EMAIL=elia-stories-subscribe@yahoogroups.com]elia-stories-subscribe@yahoogroups.com[/EMAIL])

"Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehendaki-Nya." Yohanes 5:21

Saudara-saudara yang dikasihi oleh Tuhan, dalam kesempatan ini saya akan bersaksi tentang peristiwa kematian dan kehidupan yang saya alami pada tanggal 15 Desember 1999. Peristiwa ini juga merupakan suatu tragedi bagi yayasan Doulos, Jakarta dimana STT Doulos ada di dalamnya dan saya adalah mahasiswa yang tinggal di asrama. Sebelum penyerangan dan pembakaran Yayasan Doulos tanggal 15 Desember itu, beberapa kali saya mendapat mimpi-mimpi sebagai berikut:

Minggu, 12 Desember 1999, saya bertemu dengan Tuhan Yesus dan malaikat, saya terkejut dan bangun lalu berdoa selesai saya tidur kembali.

1.. Senin, 13 Desember 1999, saya bermimpi lagi, dengan mimpi yang sama.

2.. Selasa, 14 Desember 1999, dalam mimpi saya bertemu dengan seorang pendeta pada suatu ibadah KKR, isi khotbah yang disampaikan mengenai akhir zaman, adanya penganiayaan dan pembantaian.

3.. Rabu, 15 Desember 1999, kurang lebih pukul 08.00 pagi, saya mendapatkan huruf "M" dengan darah di bawah kulit pada telapak tangan kanan saya. Dalam kebingungan dan sambil bertanya-tanya dalam hati, apakah saya akan mati? Saya bertanya kepada teman-teman dan pendapat mereka adalah bahwa kita akan memasuki millennium yang baru. Walaupun pendapat mereka demikian saya tetap merasa tidak tenang serta gelisah karena dalam pikiran saya huruf "M" adalah mati, bahwa saya akan mengalami kematian. Saya hanya bisa berdoa dan membuka Alkitab. Sekitar pukul 15.00 saya membaca firman Tuhan dari Kitab Yeremia 33:3 "Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab Engkau." Dan pada pukul 18.00, tanda huruf "M" di telapak tangan saya sudah hilang.

#Kampus dan Asrama Mahasiswa Doulos Diserang#

Pada malam hari tanggal 15 Desember 1999. kegiatan berlangsung biasa di dalam asrama kampus STT Doulos. Sebagian mahasiswa ada sedang belajar, yang lain memasak di dapur dan ada pula yang sedang berdiam. Saya sendiri sedang berbaring di kamar. Kurang lebih jam 21.00 malam itu, saya dibangunkan oleh seorang teman sambil berteriak: "Domi, bangun, kita diserang!" Saya langsung bangun dalam keadaan panic, saya langsung berlari ke halaman kampus dan melihat sebagian kampus kami yang telah terbakar. Saat itu saya berkata kepada Tuhan: "Tuhan, saya mau lari kemana? Tuhan, kalau saya lari lewat pintu gerbang depan pasti saya dibacok."

Sementara pikiran saya bertambah kalut ketika teringat akan tanda huruf "M" yang diberikan pada tangan saya. "Tuhan, apakah saya akan mati?" Saya menoleh ke belakang, ada beberapa teman sekamar yang lari menyelamatkan diri masing-masing.

Di belakang kampus kami dikelilingi pagar kawat duri setinggi 2 meter, saya tidak bisa melompat keluar dengan cara mengangkat kawat itu. Dengan tangan sedikit terluka akhirnya saya pun dapat keluar.

Kami sudah berada di luar pagar dengan keadaan takut dan gemetar karena di sana terdapat massa atau orang banyak yang tidak dikenal, mereka membawa golok, pentungan, batu dan botol berisi bensin atau Molotov. Kemudian kami berpisah dengan teman-teman, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka.

Saya lari menuju kos kakak tingkat semester 10, yang letaknya tidak jauh dari kampus. Sementara saya berlari, saya tetap berdoa kepada Tuhan: "Tuhan berkati saya, ampuni dosa dan kesalahan saya." Setiba di rumah kos itu, saya mengetuk pintu sebanyak 2 kali tetapi tidak ada yang membukakan pintu.

Ternyata di belakang saya ada 4 teman mahasiswi yang juga lari mengikuti dari belakang. Mereka memanggil saya: "Domi, ikut ke rumah kami" tetapi saya berkata kepada mereka, "biar saya bersembunyi di sini." Masih berada di depan rumah kos tersebut, saya berdoa lagi "Oh.. Tuhan, apakah malam ini saya akan mati? Ampuni dosa dan kesalahan saya."

#Ditangkap oleh Massa#

Saya mengetuk pintu lagi, tetapi tidak ada orang yang menjawab, saya berdoa kembali: "Tuhan.. ini hari terakhir untuk saya hidup." Terdengar suara massa yang semakin mendekat kepada saya. Mereka berkata: "Itu mahasiswa Doulos, tangkap dia!" Ada juga yang berteriak: "Bantai dia, tembak!"
Seketika itu saya ditangkap dan saya hanya bisa berserah kepada Tuhan sambil berkata: "Tuhan saya sudah di tangan mereka, saya tidak bisa lari lagi."

Kemudian tangan saya diikat ke belakang dan mata saya ditutup dengan kain putih. Saya tetap berdoa dalam keadaan takut dan gemetar: "Tuhan ampuni dosa saya, pada saat ini Engkau pasti di samping saya." Tiba-tiba ada suara terdengar oleh saya entah dari mana, yang berkata: "Jangan takut, Aku menyertai engkau, Akulah Tuhan Allahmu." Setelah mendengar suara itu, rasa ketakutan dan kegentaran hilang, karena saya sudah pasrahkan kepada Tuhan.

#Penganiayaan dan Kematian#

Mereka membawa saya ke tempat yang gelap, saya dipukuli dan ditendang. Saya dihadapkan dengan massa uang jumlah orangnya lebih banyak, saat itu mereka ragu, apakah saya mahasiswa Doulos atau warga sekitarnya. Sebagian massa ada yang terus mendesak untuk memotong dan membunuh saya.

Saya berdoa lagi: "Tuhan, fisik saya kecil, kalau saya mati, saya yakin masuk sorga. Saat ini saya serahkan nyawa saya ke dalam tangan kasih-Mu, ampunilah mereka." Saat itu kepala saya dipukul dari belakang dan terjatuh di atas batu, saya tidak sadar akan apa yang terjadi lagi.

#Roh Saya Keluar Dari Tubuh#

Kemudian ... roh saya terangkat keluar dari tubuh saya, roh saya berbentuk seperti orang yang sedang start lari atau sedang jongkok, lalu lurus seperti orang yang berenang kemudian berdiri. Roh saya melihat badan saya dan berkata: "Kok badan saya tinggal" (sebanyak dua kali). Roh saya berdiri tidak menyentuh tanah dan tidak tahu mau berjalan kemana, karena di sekeliling saya gelap gulita, kurang lebih lima detik, roh saya berkata:
"Mau ke mana?"

#Lima Malaikat Datang Menjemput Saya#

Saat itu ada lima malaikat datang kepada saya, dua berada di sebelah kiri, dua di sebelah kanan dan satu malaikat berada di depan saya. Tempat yang tadinya gelap gulita telah berubah menjadi terang dan saya sudah tidak dapat melihat badan saya lagi. Roh saya dibawa oleh malaikat-malaikat tersebut menuju jalan yang lurus, dan pada ujung jalan itu sempit seperti lubang jarum. Roh saya berkata: "Badan saya tidak dapat masuk." Tetapi malaikat yang di depan saya bisa masuk, lalu roh saya berkata lagi: "Badan rohani saya kecil pasti bia masuk." Kemudian roh saya masuk melalui lubang jarum tersebut.

"Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham." Lukas 16:22

#Berada di Dalam Firdaus#

Saat itu saya sudah berada di dalam sebuah halaman yang luas. Halaman itu sangat luas, indah dan tidak ada apa-apa. Roh saya berkata: "Kalau ada halaman pasti ada rumahnya." Tiba-tiba saat itu ada rumah, saya dibawa masuk ke dalam rumah tersebut dan bertemu dengan banyak orang di kamar pertama. Roh saya berkata: "Ini orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, mereka ditempatkan di sini." Mereka sedang bernyanyi, bertepuk tangan, ada yang berdiri, ada yang duduk dan ada yang meniup sangkakala.

"Di rumah Bapaku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu." Yohanes 14:2

#Dibawa ke Ruangan Selanjutnya#

Saya dibawa oleh malaikat-malaikat ke kamar selanjutnya atau kedua, sama dengan kamar yang pertama, hanya disini roh saya melihat orang-orang dengan wajah yang sama dan postur tubuh yang sama. Kemudian saya dibawa lagi ke kamar yang ketiga, yang sama dengan kamar yang pertama. Dan roh saya berkata: "Ini orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, ditempatkan di sini." Lalu roh saya dibawa ke kamar yang keempat yaitu kamar yang terakhir, pada saat ini saya hanya sendiri, tidak disertai oleh malaikat-malaikat tadi. Kamar itu kosong, lalu roh saya berkata: "Ini penghakiman terakhir, saya masuk sorga atau neraka."

"Karena sekarang telah tiba saatnya penghakiman dimulai, dan pada rumah Eloim sendiri yang harus pertama-tama dihakimi. Dan jika penghakiman itu dimulai pada kita, bagaimanakah kesudahannya dengan mereka yang tidak percaya pada Injil Eloim? Dan jika orang benar hampir-hampir tidak diselamatkan, apakah yang akan terjadi dengan orang fasik dan orang berdosa?" 1 Petrus 4:17-18

#Bertemu dengan Tuhan Yesus#

Kemudian roh saya berjalan tiga sampai empat langkah, di depan saya ada sinar atau cahaya yang sangat terang seperti matahari, maka roh saya tidak dapat menatap. Saya menutup mata dan terdengar suara: "Berlutut!" Seketika itu roh saya berlutut, terlihat sebuah kitab terbuka dan dari dalamnya keluar tulisan yang masuk ke mata saya yang masih tertutup, tulisan timbul dan hilang terus menerus, roh saya berkata: "Tuhan...! ini perbuatan saya minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu. Saya melakukan yang jahat dan saya tidak pernah mengaku dosa pribadi, sehingga Engkau mencatatnya di sini."

"Tuhan...! Saya ingin seperti saudara-saudara di kamar pertama, yang selalu memuji dan memuliakan Engkau. Tuhan...! Saya tahu Engkau mati di atas kayu salib untuk menebus dosa saya, saya rindu seperti saudara-saudara yang berada di kamar pertama, kedua dan ketiga yang selalu memuji-muji Engkau."

Sesudah itu tulisan yang keluar dari kitab itu hilang, buku manjadi bersih tanpa tulisan, kemudian buku itu hilang dan sinar yang terang itupun hilang dan ada suara berkata: "Pulang! Belum saatnya untuk melayani Aku."

Saya melihat-lihat dari mana arah suara itu datang, saya melihat ada seorang di samping kanan. Orang tersebut badan-Nya seperti manusia, rambut hingga ke lehernya bersinar terang. Jubah-Nya putih hingga menutupi kedua tangan-Nya dan bawah jubah-Nya menutupi kaki-Nya. Ia menunggangi seekor kuda putih dengan tali les yang putih. Lalu roh saya berkata: "Ini Tuhan Yesus, Dia seperti saya, Dia Eloim yang hidup."

"Lalu aku melihat sorga terbuka; sesungguhnya, ada seekor kuda putih dan Ia yang menungganginya bernama: "Yang Setia dan Yang Benar" Ia menghakimi dan berperang dengan adil." Wahyu 19:11

Kemudian Tuhan Yesus tidak nampak lagi dan seketika itu roh saya dibawa pulang ke dalam tubuh saya. Saat itu juga ada nafas, ada pikiran dan saya berpikir, tadi saya bersama dengan Tuhan Yesus. Setelah itu saya mencoba beberapa kali untuk bangun dan mengangkat kepala, tetapi tidak bisa, terasa sakit sekali, saya baru sadar bahwa leher saya telah dipotong dan hampir putus, kemudian saya dibuang ke semak-semak dengan ditutupi daun pisang. Saya merasa haus, lalu menggerakkan tangan mengambil darah tiga tetes dan menjilatnya, lalu badan saya mulai bergerak.

Saya berdoa: "Tuhan, lewat peristiwa ini saya telah bertemu dengan Engkau, dan Engkau memberikan nafas dan kekuatan yang baru sehingga aku hidup kembali, tapi Tuhan, Engkau gerakkan orang supaya ada yang membawa saya ke rumah sakit."

Tuhan menjawab doa saya, malam itu ada orang yang mendekati saya dengan memakai lampu senter, lalu bertanya: "Kamu dari mana?" Saya tidak bisa menjawab, karena saya tidak dapat berbicara lewat mulut, tidak ada suara yang keluar, hanya hembusan nafas yang melalui luka-luka menganga pada leher. Kemudian orang tersebut memanggil polisi.

Puji Tuhan! Dikira sudah meninggal tetapi masih hidup. Mereka mengira saya sudah meninggal, mereka mengangkat dan membawa saya ke jalan raya. Kemudian polisi mencari identitas atau KTP saya, ternyata tidak ditemukan. Tanpa identitas, mereka bermaksud membawa saya ke sebuah rumah sakit lain, tetapi saya ingat kembali akan suara Tuhan dan takhta-Nya di sorga, ternyata ada kekuatan baru dari Tuhan Yesus yang memampukan saya dapat berbicara.
Tiba-tiba saya berkata: "Nama saya Dominggus, umur saya 20 tahun, semester III, tinggal di asrama Doulos, saya berasal dari Timor."

Orang-orang yang sedang melihat dan mendengar saya, berkata: "Wah, dia dipotong dari jam berapa? Sekarang sudah jam 02.30 pagi, tapi dia masih hidup."

#Perjalanan ke Rumah Sakit UKI#

Kemudian mereka memasukkan saya ke dalam mobil dan meletakkan saya di bawah. Saya tetap mengingat peristiwa ketika Tuhan Yesus dianiaya. Sementara mobil meluncur dengan kecepatan tinggi, saat melewati jalan berlubang atau tidak rata mobilpun berguncang dan saya merasa sangat sakit sekali pada luka di leher. Saya katakan kepada Tuhan: "Tuhan, apakah saya dapat bertahan di dalam mobil ini? Tuhan ketika Engkau di atas kayu salib, Engkau meminum cuka dan empedu, tetapi saya menjilat darah saya sendiri karena tidak ada orang yang menjagai saya."

Saya membuka mata, ternyata memang tidak ada seorangpun yang menjagai saya, hanya seorang supir. Tetapi saya melihat beberapa malaikat berjubah puith menjaga dan mengelilingi saya. Saya katakan: "Tuhan ini malaikat-malaikat pelindung saya, mereka setia menjagai." Saya harus berdoa agar tetap kuat.

#Perawatan di Rumah Sakit#

Setiba di rumah sakit, suara saya dapat normal kembali. Saya dapat berbicara dan bertanya kepada perawat: "Bapak saya mana?" perawat RS bertanya kepada saya: "Bapakmu siapa?" Saya jawab: "Bapak Ruyandi Hutasoit." Ketika Bpk. Ruyandi menemui saya, ia berkata: "Dominggus.. leher kamu putus!" Jawab saya: "Bapak doakan saya, sebab saya tidak akan mati, saya telah bertemu dengan Tuhan Yesus." Lalu Bpk. Ruyandi mendoakan dan menumpangkan tangan atas saya.

Setelah itu saya mendapat perawatan, seorang dokter ahli saraf hanya menjahit kulit leher saya, karena luka bacokan sudah menembus sampai ke tulang belakang leher, sehingga cairan otak mengalir keluar, saluran nafas dan banyak saraf yang putus. Kemudian saya dirawat tiga hari di ruangan ICU dan selama perawatan saya tidak diberikan transfusi darah pendapat dokter pada saat itu adalah bahwa saya akan mati dan saya tidak diharapkan hidup, mengingat cairan otak yang telah keluar dan infeksi yang terjadi pada otak, yang semua itu akan menimbulkan cacat seumur hidup.

#Mukjizat Kesembuhan Terjadi#

Tanggal 19 Desember 1999 dengan panas badan 40°C dan seluruh wajah yang bengkak karena infeksi, saya dipindahkan keluar dari ruang ICU, dikarenakan ada pasien lain yang sangat memerlukan dan masih mempunyai harapan hidup yang lebih besar daripada saya.

Pada malam hari, roh saya kembali keluar untuk kedua kali dari tubuh saya, roh saya melihat suasana kamar dimana saya dirawat dan kemudian roh saya berjalan sejauh kurang lebih dua atau tiga kilometer dalam suasana terang di sekeliling saya. Tiba-tiba ada suara terdengar oleh saya: "Pulang..pulang...!"

Seketika itu juga, roh saya kembali ke dalam tubuh saya, suhu tubuh menjadi normal dan tidak ada lagi infeksi. Kemudian terdengar bunyi seperti orang menekukkan jari-jari pada leher saya, lalu otot, tulang, saluran nafas dan saraf-saraf tersambung dalam sekejab mata, saya merasa tidak sakit dan dapat menggerakkan leher. Sesudah itu saya diberi minum dan makan bubur.

Saya sudah hidup kembali, dengan kesehatan yang sangat baik. Puji Tuhan!
Keluar dari Rumah Sakit dalam Keadaan Sembuh Total

Saya berada di rumah sakit sejak tanggal 16 Desember 1999 dini hari dan keluar dari rumah sakit pada tanggal 29 Desember 1999, dengan berat badan normal dibanding dua minggu yang lalu karena banyak darah dan cairan yang telah keluar. Saya telah sembuh sempurna, tanpa cacat, tanpa perawatan jalan, saya hidup kembali dengan normal.

"Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau sungguh Eloim yang hidup dan ajaib, terpujilah nama-Mu kekal sampai selamanya, amin!" __________________
There is a story living in us that speaks of our place in the world. It is a story that invites us to love what we love and simply be ourselves.

Banyak Receh dalam Kolekte

Written by blog_electrical engineering on at 05.28

Satu alasan mengapa begitu banyak uang receh dalam kolekte Gereja adalah karena tidak ada lagi mata uang yang lebih kecil daripada uang receh.

Tidak Boleh Berbisik-Bisik Saat Pendeta Makan Malam di Rumah

Written by blog_electrical engineering on at 05.26

Tidak Boleh Berbisik-Bisik Saat Pendeta Makan Malam di Rumah


Pada suatu malam seorang Gembala Sidang diundang oleh salah anggota jemaat untuk makan malam bersama dengan keluarganya.

Setelah selesai makan malam dan ketika makanan pencuci mulut (buah-buahan) sedang dihidangkan, tiba-tiba anak laki-laki dari keluarga tersebut yang baru berumur tujuh tahun terlihat hendak membisikkan sesuatu kepada ibunya.

"Nak, tidaklah sopan berbisik-bisik di depan tamu yang sedang menikmati makan malam, katakan saja, tidak perlu berbisik-bisik," kata ibunya.

Setelah mendapat ijin dari ibunya, anak laki-laki itu langsung berkata, "Mama..., Pak Pendeta makannya banyak ya..."

Ajakan Untuk 'Back To The Bible'

Written by blog_electrical engineering on at 05.22

Ajakan Untuk 'Back To The Bible'


Seorang pengkhotbah dengan penuh semangat memotivasi jemaat untuk selalu percaya akan pemeliharaan Allah. Diakhir khotbahnya dia berkata, "Dengan semangat yang pernah Marthin Luther kumandangkan yaitu "Back To The Bible", mari kita tetap mempercayai Allah yang memelihara kita!!"

Usai kebaktian, seperti biasa para jemaat memberikan salam kepada sang pengkhotbah di depan pintu. Lantas tiba-tiba, dengan ekspresi wajah yang lugu dan malu-malu seorang ibu bertanya, "Maaf Pak Pendeta, perkataan Marthin Luther terlewat saya catat...."

Belum selesai si Ibu menyelesaikan penjelasannya, dengan tanpa ragu sang pengkhotbah menegaskan. Katanya, "Ooohhh itu,... 'Back to The Bible'... kalimat itu artinya adalah 'Allah menyertai kita semua'."

wanita

Written by blog_electrical engineering on Sabtu, 31 Mei 2008 at 07.42

>wanita adalah wanita...,
>jika dikatakan cantik maka dikira menggoda..,
>wanita adalah wanita...,
>jika dibilang jelek maka disangka menghina..,
>jika dikatakan ia perhiasan ter indah didunia ia bangga,
>jika, apapun "perhiasan yg berharga" itu layak ditutupi dan disembunyikan ia setuju..(supaya terjaga)
>tapi bila disuruh menutup "perhiasannya/ kecantikannya" maka dia enggan...,
>dan bila dilecehkan ia menyalahkan sepenuhnya pria..!
>wanita adalah wanita...,
>jika dikatakan siapa yg paling dibanggakan olehnya, kebanyakan bilang
"ibunya",
>tapi kenapa ya..lebih bangga jadi wanita karier..(padahal ibunya "ibu rumah tangga")
>wanita ....
>bila diluruskan supaya bener memerah mukanya, (marah, sambil bilang "sok bener lo!")
>bila diingetin tetep memerah mukanya, (marah juga rupanya, sambil bilang "sok tau lo!")
>bila dimanja dan disanjung..? ? eh, tetep memerah mukanya (kali ini tersipu malu, sambil bilang "ah, masa?")
>wanita adalah wanita...,
>inginnya dibilang emansipasi.. .,
>tapi kegerahan dibilang "macho",
>maunya disamakan dg pria..,
tapi menolak benerin genteng rumah! (sambil bilang, "masa disamakan sama cowok!?")
>Wanita...,
>bila dibilang lemah dia protes...
>jika pacarnya tidak mau antar pulang dia bilang keterlaluan,
>maunya diperlakukan sama dg pria..,
tapi kesel nggak dikasih tempat duduk di bis kota oleh pria disampingnya (dan bilang "egois amat ni cowok?")
>bila dikatakan kuat itu maunya..,
tapi bila sedikit bersedih ia cepet menangis...,
>tapi....
>Wanita adalah wanita...
dan wanita bukan perempuan atau cewek semata..., tapi bagaimanapun juga aku suka wanita! (swear..) "Man's said"
YANG TIDAK MERASA BERARTI TIDAK PROTES! DAN YANG MERASA PASTI DIEM.
Enakan jadi cowok juga yach...
hehehehe....

Pria memang susah untuk dibuat bahagia:

Written by blog_electrical engineering on at 07.21

Pria memang susah untuk dibuat bahagia:
Masalah-masalah yang timbul pada Pria
>Jika kamu memperlakukannya dengan baik,
dia pikir kamu jatuh cinta kepadanya.
>Jika tidak, kamu akan dibilang sombong.
>Jika kamu berpakaian bagus, dia pikir kamu sedang mencoba untuk menggodanya,
>jika tidak dia bilang kamu kampungan.
>Jika kamu berdebat dengannya, dia bilang kamu keras kepala,
>jika kamu tetap diam, dia bilang kamu
nggak punya otak.
>Jika kamu lebih pintar dari pada dia,
dia akan kehilangan muka,
>jika dia yang lebih pintar, dia akan merasa hebat.
>Jika kamu tidak cinta padanya, dia akan mencoba mendapatkanmu,
>jika kamu mencintainya,dia akan mencoba untuk meninggalkanmu.
>Jika kamu beritahu dia masalahmu, dia bilang kamu menyusahkan.
>Jika tidak, dia bilang kamu tidak mempercayai mereka.
>Jika kamu cerewet pada dia, kamu seperti seorang pengasuh baginya,
>tapi jika dia yang cerewet pada kamu,
itu karena dia perhatian.
>Jika kamu langgar janji kamu, kamu tidak bisa dipercaya,
>jika dia yang ingkari janjinya, dia melakukannya karena terpaksa.
>Jika kamu merokok, kamu adalah cewek liar,
>kalau dia yang merokok , dia adalah seorang gentleman.
>Jika kamu menyakitinya, kamu sangat kejam,
>tapi kalau dia yang menyakitimu, itu karena kamu terlalu sensitif dan terlalu sulit untuk dibuat bahagia!!!!!
Jika kamu mengirimkan ini pada cowok-cowok, mereka pasti bersumpah kalau ini tidak benar,tapi jika kamu tidak mengirimkan ini pada mereka, mereka akan bilang kamu egois.
Saya juga pria dan sering melakukan sebagian dari yg tertera diatas. Sebelumnya aq udah buat yg versi wanita dan sekarang versi prianya.
Hal ini penting buat semuanya agar kedua jenis manusia ini tau dan sadar klo berhadapan dengan manusia yg berbeda jenis kelamin (selain banci, homo, dan lesbian) kita gak harus memiliki bahkan menunjukkan rasa EGO baik itu wanita maupun pria.
Kita itu diciptaan TUHAN tuk saling melengkapi satu sama lain, supaya gak ada penyimpangan dalam kehidupan dan percintaan (katanya.....).
Penyimpangan dimaksud bukan percintaan sejenis aja, tp poligami, poliandri n poli yg lainnya jg..
NB : Klo ada individu, sekelompok individu yang mungkin tersinggung dengan buletin ini saya MOHON MAAF yg sebesar-besarnya..
TERIMA KASIH.

Blog Berita - Jarar Siahaan - Penulis dari Balige Tobasa

Written by blog_electrical engineering on Kamis, 29 Mei 2008 at 02.51

http://bataknews.wordpress.com/2007/10/18/kegelisahan-paltibonar/

Blog Berita - Jarar Siahaan - Penulis dari Balige Tobasa

Situsku ini, Batak News, telah pindah alamat, silakan lihat di blogberita.net; this weblog fully powered by wordpress.com, get your own blog for free; write freely and responsibly

Kegelisahan Paltibonar

[suhunan situmorang; blog berita; paltibonar adalah suhunan, kataku]

Seharusnya dana yang begitu besar untuk mengurusi orang mati akan lebih bermakna bila dialihkan untuk menyejahterakan orang yang masih hidup.

Artikel ini adalah komentar yang ditulis Suhunan Situmorang menanggapi artikel sebelumnya di Blog Berita, Bangunlah pendidikan, bukan makam. Suhunan bekerja sehari-hari sebagai advokat di kantor Nugroho Partnership, Jakarta, setelah sebelumnya menjadi wartawan di majalah Forum. Ia juga pengarang novel Sordam, sebuah novel berlatar peristiwa aktual.

Paltibonar, yang kuambil menjadi judul artikel ini, adalah nama lelaki Batak tokoh utama dalam novel Sordam. Paltibonar dalam buku itu berperan sebagai wartawan, kemudian menjadi advokat, aktivis lingkungan, dan aktivis politik…, sebelum akhirnya ia tewas dalam serangan orang-orang tegap berambut cepak ke “kantor PDI Mega”. Ia menggugat banyak hal dalam kebatakan; salah satunya soal adat yang menguras kantong, termasuk pembangunan makam dan tugu yang mewah bagi orang mati. Dalam bekerja sebagai wartawan maupun pengacara, Paltibonar sangat menentang suap dan korupsi.

Setelah menyimak sedikitnya 11 artikel Suhunan di blog ini, juga sekian banyak komentarnya sejak Maret silam, plus perbincangan pribadi kami via SMS dan imel, aku dengan sok berani-beraninya mengambil kesimpulan: Paltibonar, sebenarnya, adalah sosok Suhunan sendiri. *Aku kabur dulu, sebelum kena timpuk sama lae Suhunan.* :D

Tapi, serius, aku pun sudah lama gelisah pada hal-hal yang ditentang Paltibonar dalam buku itu; mulai soal agama yang sering dijadikan basa-basi pemanis tampilan, jurnalis Indonesia yang jago menulis berita pejabat korup tapi pers sendiri pun terlibat korupsi, hingga ke urusan cinta segitiga yang dialami Paltibonar. Jangan salah menduga, cintaku tidak berbentuk segitiga, tapi bulat. :D

SAYA SUKA TANGGAPAN lae, kritis dan berbasiskan (pendekatan) ilmu-ilmu sosial: sejarah, antropologi, sosiologi, dsb. Tak banyak orang Batak yg bisa menjelaskan sejarah dan persoalan Batak secara “holistik dan ilmiah” macam yg lae beberkan di atas.

Sebenarnya ada seorang cendekiawan Batak Toba yg cukup bagus menguasai sejarah, filosofi, dan faktor-faktor yg mempengaruhi perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai anutan masyarakat Batak. Namanya Parakitri T Simbolon, seorang esais, cerpenis, novelis, wartawan/eks redaktur senior Kompas, ahli filsafat dan ilmu-ilmu sosial, yg sekarang memimpin kelompok penerbitan Kompas Gramedia (KPG). Untuk keperluan studi doktoralnya di Belanda, ia bertahun-tahun melakukan riset dan penelusuran tulisan-tulisan lak-lak dan pendapat para penulis asing, misionaris, pejabat pemerintah Hindia Belanda, dll, menyangkut alam dan manusia Batak, yg dituangkan dlm buku maupun kertas kerja (report, makalah, dll). Ia menguasai aksara dan bahasa Batak dng sempurna–membuat saya malu, yg terlanjur dicap paham budaya Batak hanya lewat sebuah novel sederhana berjudul SORDAM, yg kebetulan ber-setting alam dan bertokoh manusia Batak Toba.

Sayangnya, Parakitri terkesan enggan muncul ke permukaan bila ada pertemuan, diskusi, seminar, yang bertemakan atau bertopikkan manusia Batak. Juga tak giat lagi menerbitkan pikiran-pikirannya di media massa. (Thn 80-an ia rutin menulis esai/kolom di KOMPAS, tokoh tulisannya ‘Cucu Wisnusarman’; memang tak spesifik mengulas dunia dan manusia Batak).

Dalam perbincangan saya beberapa bulan lalu dng Parakitri hingga pukul 2 pagi di kantornya, saya seperti orang awam mengenai Batak. Benar-benar terpukau dng penjelasan, analisis, data dan referensi yg disodorkannya. Saya mendorongnya agar menerbitkan kumpulan-kumpulan tulisannya mengenai Batak itu (juga studinya terhadap Sisingamangaraja XII), agar masyarakat Batak dan non-Batak yg berminat, semakin paham sejarah dan perkembangan (termasuk perpecahan Batak karena faktor agama), juga perubahan-perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai dan norma anutan manusia Batak.

Saya melihat, lae Hutauruk dan Parakitri memiliki kesamaan, atau setidaknya sudah mampu memetakan sejarah itu lebih baik dibanding orang Batak pada umumnya. Tapi, sekadar tanggapan atau mungkin lbh cocok disebut bahan wacana selanjutnya atas tanggapan lae terhadap tulisan lae Holben Sinaga di atas, khususnya mengenai makna ‘tugu marga’ atau kuburan besar yg disebut batu napir, berikut tanggapan saya:

Sebetulnya, polemik yg cukup sengit mengenai relevansi dan makna tugu atau kuburan besar sebagai tanggapan atas kecenderungan orang Batak Toba yg mulai giat membangun tugu dan kuburan besar bagi leluhur dan orangtua mereka (Tambak na pir/Batu napir) telah dilakukan Sitor Situmorang dan DR Kartini Panjaitan Sjahrir di jurnal ilmu sosial ‘Prisma’, awal-awal thn 80-an (sayang, jurnal tsb yg lama kukoleksi tdk dipulangkan kawan mahasiswa FISIP-UI, jadi tidak punya lagi).

Saya bisa memahami bila orang Batak (marga) merasa perlu membuat tanda berupa bangunan semacam prasasti atau monumen utk menghormati dan mengabadikan jasa leluhur/ nenek-moyang mereka, yg juga bisa dijadikan sebagai perekat antarsemarga (sepuak/sekaum), sekaligus utk mengaksentuasikan identitas mereka atau utk memperlihatkan eksistensi mereka di tengah marga lain. Itu penting, setidaknya, generasi penerus (cucu-cicit), bisa tahu dan dpt menelusuri trah, garis keturunan, sejak leluhurnya yg pertama.

Tetapi perkembangannya kemudian, dan ini fakta, orang Batak Toba kemudian melebarkan pembangunan/ pembuatan tugu itu, mulai dari generasi ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, dst. Tak hanya itu, sekarang dibuat pula tugu utk lingkup yg lebih sempit, yakni khusus utk yang satu ompung (kakek buyut).

Selain membangun tugu, orang Batak Toba juga membangun kuburan besar berbentuk tugu yg juga disebut Tambak napir/Batu napir, utk menampung tulang-belulang, jerangkong, dan jenazah kakek-nenek dan orangtua mereka. Memang, itu hak mereka, tetapi bisalah kita bayangkan bila tiap sub-marga dan masing-masing yg sekakek-senenek membuat hal yg sama, yg semakin lama semakin menyempit (ditarik dari tiga atau dua garis keturunan dari atas).

Fenomena dan kecenderungan semacamlah yg terjadi di wilayah Samosir, Toba, Humbang sejak thn 80-an. (Masyarakat Batak yg mendiami bumi Rura Silindung, meski sama-sama etnis Batak Toba, kelihatannya tdk familiar dng pembangunan tugu atawa Tambak napir/Batu napir ini. Cobalah kita perhatikan, di wilayah Tarutung dan sekitarnya, jarang ditemukan tugu atau Tambak napir).

Pengamatan saya yg blm mendalam dan sama sekali tdk menggunakan kerangka teori ilmu-ilmu sosial (antropologi, arkeologi) — yg kemudian dituliskan secara parsial di novel SORDAM — fenomena atau kecenderungan pembuatan/ pembangunan tugu dan Batu napir di kalangan masyarakat Batak Toba (minus Silindung), semakin gencar dan marak seiring dengan meningkatnya status sosial masyarakatnya, khususnya orang Batak Toba di perantauan.

Artinya (semoga saya keliru), keinginan utk membangun monumen dan kuburan besar itu lebih merupakan upaya pengukuhan atau legitimasi sub-marga dan keluarga besar ketimbang sebagai monumen utk dijadikan sebagai penunjuk/ penanda sebuah garis keturunan atau identitas marga.

Disadari atau tidak, kecenderungan yg kemudian menggejala adalah, masing-masing berusaha utk menunjukkan kepada yg lain bhw mereka pun mampu membuat/ membangun tugu atawa Batu napir yg lebih bagus dari yg sudah dibuat sub-marga, keluarga se-ompung, bahkan lebih dipersempit lagi cukup hingga dua generasi di atas mereka saja. Tentu saja pembangunan Batu napir tsb akan menghabiskan biaya yg terbilang besar, berkisar ratusan juta hingga milyar rupiah, yg diberi marmer, teraso, dan berpenerangan listrik kalau malam. (Sekali lagi, itu hak mereka).

Ironisnya, di sekitar tugu atau Batu napir itu, mata kita akan menyaksikan pemandangan yg memprihatinkan. Rumah-rumah kayu yg reot, rumah adat yg tinggal ambruk 9jumlah ruma bolon sudah semakin sedikit sekarang ini), dan kemiskinan penduduk — yg mungkin saja memang bukan kerabat dekat para pemilik tugu/Tambak napir — yg amat memprihatinkan.

Sebagai orang muda yg kritis, lae Holben Sinaga mungkin sama seperti Paltibonar (sang tokoh fiktif itu), gelisah dan geram menyaksikan realitas yg timpang dan ironis itu, karena orang Batak Toba sepertinya lebih bersemangat membangun keperluan orang mati ketimbang yg masih hidup. Kenapa, misalnya, selain membangun tugu/Tambak napir, orang-orang Batak Toba juga menyisihkan sebagian uang mereka yg dikumpul itu utk membantu penduduk setempat (huta), meski pun tdk semuanya kerabat dekat.

Semisal: membangun tali air agar irigasi sawah-ladang bagus, pemberian bibit tanaman dan ternak, membantu beasiswa anak-anak ‘par huta’, membantu pembangunan jalan. Tindakan semacam ini sdh lama dilakukan orang-orang Minang perantauan; banyak jalan, jembatan, irigasi, surau/mesjid, gedung sekolah, yg dibangun para perantau. [www.blogberita.com]

Blog Berita - Jarar Siahaan - Penulis dari Balige Tobasa

Situsku ini, Batak News, telah pindah alamat, silakan lihat di blogberita.net; this weblog fully powered by wordpress.com, get your own blog for free; write freely and responsibly

Kegelisahan Paltibonar

[suhunan situmorang; blog berita; paltibonar adalah suhunan, kataku]

Seharusnya dana yang begitu besar untuk mengurusi orang mati akan lebih bermakna bila dialihkan untuk menyejahterakan orang yang masih hidup.

Artikel ini adalah komentar yang ditulis Suhunan Situmorang menanggapi artikel sebelumnya di Blog Berita, Bangunlah pendidikan, bukan makam. Suhunan bekerja sehari-hari sebagai advokat di kantor Nugroho Partnership, Jakarta, setelah sebelumnya menjadi wartawan di majalah Forum. Ia juga pengarang novel Sordam, sebuah novel berlatar peristiwa aktual.

Paltibonar, yang kuambil menjadi judul artikel ini, adalah nama lelaki Batak tokoh utama dalam novel Sordam. Paltibonar dalam buku itu berperan sebagai wartawan, kemudian menjadi advokat, aktivis lingkungan, dan aktivis politik…, sebelum akhirnya ia tewas dalam serangan orang-orang tegap berambut cepak ke “kantor PDI Mega”. Ia menggugat banyak hal dalam kebatakan; salah satunya soal adat yang menguras kantong, termasuk pembangunan makam dan tugu yang mewah bagi orang mati. Dalam bekerja sebagai wartawan maupun pengacara, Paltibonar sangat menentang suap dan korupsi.

Setelah menyimak sedikitnya 11 artikel Suhunan di blog ini, juga sekian banyak komentarnya sejak Maret silam, plus perbincangan pribadi kami via SMS dan imel, aku dengan sok berani-beraninya mengambil kesimpulan: Paltibonar, sebenarnya, adalah sosok Suhunan sendiri. *Aku kabur dulu, sebelum kena timpuk sama lae Suhunan.* :D

Tapi, serius, aku pun sudah lama gelisah pada hal-hal yang ditentang Paltibonar dalam buku itu; mulai soal agama yang sering dijadikan basa-basi pemanis tampilan, jurnalis Indonesia yang jago menulis berita pejabat korup tapi pers sendiri pun terlibat korupsi, hingga ke urusan cinta segitiga yang dialami Paltibonar. Jangan salah menduga, cintaku tidak berbentuk segitiga, tapi bulat. :D

SAYA SUKA TANGGAPAN lae, kritis dan berbasiskan (pendekatan) ilmu-ilmu sosial: sejarah, antropologi, sosiologi, dsb. Tak banyak orang Batak yg bisa menjelaskan sejarah dan persoalan Batak secara “holistik dan ilmiah” macam yg lae beberkan di atas.

Sebenarnya ada seorang cendekiawan Batak Toba yg cukup bagus menguasai sejarah, filosofi, dan faktor-faktor yg mempengaruhi perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai anutan masyarakat Batak. Namanya Parakitri T Simbolon, seorang esais, cerpenis, novelis, wartawan/eks redaktur senior Kompas, ahli filsafat dan ilmu-ilmu sosial, yg sekarang memimpin kelompok penerbitan Kompas Gramedia (KPG). Untuk keperluan studi doktoralnya di Belanda, ia bertahun-tahun melakukan riset dan penelusuran tulisan-tulisan lak-lak dan pendapat para penulis asing, misionaris, pejabat pemerintah Hindia Belanda, dll, menyangkut alam dan manusia Batak, yg dituangkan dlm buku maupun kertas kerja (report, makalah, dll). Ia menguasai aksara dan bahasa Batak dng sempurna–membuat saya malu, yg terlanjur dicap paham budaya Batak hanya lewat sebuah novel sederhana berjudul SORDAM, yg kebetulan ber-setting alam dan bertokoh manusia Batak Toba.

Sayangnya, Parakitri terkesan enggan muncul ke permukaan bila ada pertemuan, diskusi, seminar, yang bertemakan atau bertopikkan manusia Batak. Juga tak giat lagi menerbitkan pikiran-pikirannya di media massa. (Thn 80-an ia rutin menulis esai/kolom di KOMPAS, tokoh tulisannya ‘Cucu Wisnusarman’; memang tak spesifik mengulas dunia dan manusia Batak).

Dalam perbincangan saya beberapa bulan lalu dng Parakitri hingga pukul 2 pagi di kantornya, saya seperti orang awam mengenai Batak. Benar-benar terpukau dng penjelasan, analisis, data dan referensi yg disodorkannya. Saya mendorongnya agar menerbitkan kumpulan-kumpulan tulisannya mengenai Batak itu (juga studinya terhadap Sisingamangaraja XII), agar masyarakat Batak dan non-Batak yg berminat, semakin paham sejarah dan perkembangan (termasuk perpecahan Batak karena faktor agama), juga perubahan-perubahan sosial dan pergeseran nilai-nilai dan norma anutan manusia Batak.

Saya melihat, lae Hutauruk dan Parakitri memiliki kesamaan, atau setidaknya sudah mampu memetakan sejarah itu lebih baik dibanding orang Batak pada umumnya. Tapi, sekadar tanggapan atau mungkin lbh cocok disebut bahan wacana selanjutnya atas tanggapan lae terhadap tulisan lae Holben Sinaga di atas, khususnya mengenai makna ‘tugu marga’ atau kuburan besar yg disebut batu napir, berikut tanggapan saya:

Sebetulnya, polemik yg cukup sengit mengenai relevansi dan makna tugu atau kuburan besar sebagai tanggapan atas kecenderungan orang Batak Toba yg mulai giat membangun tugu dan kuburan besar bagi leluhur dan orangtua mereka (Tambak na pir/Batu napir) telah dilakukan Sitor Situmorang dan DR Kartini Panjaitan Sjahrir di jurnal ilmu sosial ‘Prisma’, awal-awal thn 80-an (sayang, jurnal tsb yg lama kukoleksi tdk dipulangkan kawan mahasiswa FISIP-UI, jadi tidak punya lagi).

Saya bisa memahami bila orang Batak (marga) merasa perlu membuat tanda berupa bangunan semacam prasasti atau monumen utk menghormati dan mengabadikan jasa leluhur/ nenek-moyang mereka, yg juga bisa dijadikan sebagai perekat antarsemarga (sepuak/sekaum), sekaligus utk mengaksentuasikan identitas mereka atau utk memperlihatkan eksistensi mereka di tengah marga lain. Itu penting, setidaknya, generasi penerus (cucu-cicit), bisa tahu dan dpt menelusuri trah, garis keturunan, sejak leluhurnya yg pertama.

Tetapi perkembangannya kemudian, dan ini fakta, orang Batak Toba kemudian melebarkan pembangunan/ pembuatan tugu itu, mulai dari generasi ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, dst. Tak hanya itu, sekarang dibuat pula tugu utk lingkup yg lebih sempit, yakni khusus utk yang satu ompung (kakek buyut).

Selain membangun tugu, orang Batak Toba juga membangun kuburan besar berbentuk tugu yg juga disebut Tambak napir/Batu napir, utk menampung tulang-belulang, jerangkong, dan jenazah kakek-nenek dan orangtua mereka. Memang, itu hak mereka, tetapi bisalah kita bayangkan bila tiap sub-marga dan masing-masing yg sekakek-senenek membuat hal yg sama, yg semakin lama semakin menyempit (ditarik dari tiga atau dua garis keturunan dari atas).

Fenomena dan kecenderungan semacamlah yg terjadi di wilayah Samosir, Toba, Humbang sejak thn 80-an. (Masyarakat Batak yg mendiami bumi Rura Silindung, meski sama-sama etnis Batak Toba, kelihatannya tdk familiar dng pembangunan tugu atawa Tambak napir/Batu napir ini. Cobalah kita perhatikan, di wilayah Tarutung dan sekitarnya, jarang ditemukan tugu atau Tambak napir).

Pengamatan saya yg blm mendalam dan sama sekali tdk menggunakan kerangka teori ilmu-ilmu sosial (antropologi, arkeologi) — yg kemudian dituliskan secara parsial di novel SORDAM — fenomena atau kecenderungan pembuatan/ pembangunan tugu dan Batu napir di kalangan masyarakat Batak Toba (minus Silindung), semakin gencar dan marak seiring dengan meningkatnya status sosial masyarakatnya, khususnya orang Batak Toba di perantauan.

Artinya (semoga saya keliru), keinginan utk membangun monumen dan kuburan besar itu lebih merupakan upaya pengukuhan atau legitimasi sub-marga dan keluarga besar ketimbang sebagai monumen utk dijadikan sebagai penunjuk/ penanda sebuah garis keturunan atau identitas marga.

Disadari atau tidak, kecenderungan yg kemudian menggejala adalah, masing-masing berusaha utk menunjukkan kepada yg lain bhw mereka pun mampu membuat/ membangun tugu atawa Batu napir yg lebih bagus dari yg sudah dibuat sub-marga, keluarga se-ompung, bahkan lebih dipersempit lagi cukup hingga dua generasi di atas mereka saja. Tentu saja pembangunan Batu napir tsb akan menghabiskan biaya yg terbilang besar, berkisar ratusan juta hingga milyar rupiah, yg diberi marmer, teraso, dan berpenerangan listrik kalau malam. (Sekali lagi, itu hak mereka).

Ironisnya, di sekitar tugu atau Batu napir itu, mata kita akan menyaksikan pemandangan yg memprihatinkan. Rumah-rumah kayu yg reot, rumah adat yg tinggal ambruk 9jumlah ruma bolon sudah semakin sedikit sekarang ini), dan kemiskinan penduduk — yg mungkin saja memang bukan kerabat dekat para pemilik tugu/Tambak napir — yg amat memprihatinkan.

Sebagai orang muda yg kritis, lae Holben Sinaga mungkin sama seperti Paltibonar (sang tokoh fiktif itu), gelisah dan geram menyaksikan realitas yg timpang dan ironis itu, karena orang Batak Toba sepertinya lebih bersemangat membangun keperluan orang mati ketimbang yg masih hidup. Kenapa, misalnya, selain membangun tugu/Tambak napir, orang-orang Batak Toba juga menyisihkan sebagian uang mereka yg dikumpul itu utk membantu penduduk setempat (huta), meski pun tdk semuanya kerabat dekat.

Semisal: membangun tali air agar irigasi sawah-ladang bagus, pemberian bibit tanaman dan ternak, membantu beasiswa anak-anak ‘par huta’, membantu pembangunan jalan. Tindakan semacam ini sdh lama dilakukan orang-orang Minang perantauan; banyak jalan, jembatan, irigasi, surau/mesjid, gedung sekolah, yg dibangun para perantau. [www.blogberita.com]


http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/20/0044.html

Globalisasi, Menuju Era Konflik Etnik

From: John MacDougall (apakabar@igc.org)
Date: Sun Aug 20 2000 - 17:12:32 EDT


>Senin, 21 Agustus 2000
Globalisasi, Menuju Era Konflik Etnik
TERBENTUKNYA stratifikasi masyarakat berdasarkan pengelompokan etnik atau
ras, seperti dikemukakan Furnifall
di Hindia Belanda, tidak memadai lagi sebagai perkakas ilmiah cukup untuk
menjelaskan kompleksitas masyarakat
majemuk.
Modernisasi yang telah mendorong mobilitas penduduk-baik secara horizontal
maupun vertikal-tidak lagi mengenal batasan askriptif sosial yang
disuburkan kolonial itu.
Pertumbuhan kota yang pesat di berbagai propinsi di Indonesia telah menjadi
daya tarik bagi para pendatang dengan berbagai latar belakang etnik. Di
sini mereka berpacu untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi dan politik yang
terbatas. Di sini pula mereka setiap saat harus dapat menerima kehadiran
orang-orang dengan latar belakang budaya berbeda.
Dalam konteks seperti ini keragaman haruslah dilihat sebagai suatu
struktur interaksi yang relatif harmonis. Di luar itu, pengertiannya
menjadi lain atau bergeser. Seperti mayoritas-minoritas, atau bahkan
kolonialisme, imperialisme baru. Dengan kata lain, bagaimana seseorang
dengan latar belakang etnik (baik itu suku bangsa, agama, maupun
kedaerahan) mendefinisikan situasinya dalam hubungannya dengan orang lain
dari kelompok berbeda, menentukan kategori masyarakat tersebut.
Dalam bahasa sederhana, di Irian Jaya penduduk asli tidak habis pikir,
mengapa hanya untuk camat saja didatangkan dari Jawa. Demikian pula guru.
Padahal sekarang, ribuan sarjana putra asli daerah saat ini menganggur
karena tidak ada lowongan kerja. Ironisnya, penduduk Irian Jaya menempati
papan atas dalam soal kemiskinan di republik ini.
Di masa Orde Baru tidak ada yang berani memprotes hal ini. Penggunaan kata
demi mempertahankan persatuan dan kesatuan, bisa membuat nyawa orang dalam
bahaya. Maka apa pun yang dilakukan Jakarta adalah benar adanya. Kultur
pangreh praja, atau penguasa kerajaan, yang ditumbuhkan sejak zaman
kolonial, membentuk persepsi bahwa daerah luar Jawa butuh bimbingan dan
harus diarahkan agar tidak "keliru."
Logika seperti ini juga muncul dalam eksploatasi sumber daya alam. Jakarta
menyebutnya untuk kesejahteraan daerah. Sementara warga Irian Jaya
melihatnya sebagai perampokan. Protes warga akan dijawab dengan pengiriman
pasukan dengan dalih adanya unsur provokasi oleh OPM.
Sejak Indonesia merdeka, kata persatuan dan kesatuan telah menjadi senjata
ampuh untuk membungkam pertanyaan sekitar hak-hak kelompok minoritas dan
penduduk lokal. Soekarno dan Soeharto dengan mudah mengirim ribuan bala
prajurit bersenjata dari Jawa. Di zaman Orde Baru, membicarakan suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA) malah bisa dikategorikan subversif,
yang ancaman hukumannya adalah mati. Maka nasionalisme yang selalu
diagung-agungkan itu pun menjadi lebih mirip kesadaran palsu, sesuatu yang
dipaksakan.
Tahun 1950-an Geertz sudah melihat kuatnya sentimen Jawa dan luar Jawa.
Beberapa peneliti lainnya malah melihat secara jelas bagaimana preferensi
politik dipengaruhi latar belakang etnik. Pada pemilu pertama, dengan
mengambil studi kasus di Kabupaten Simalungun, Sumut, William Liddle
melihat orang Batak Toba cenderung memilih Parkindo, Jawa memilih PNI,
Batak Selatan pada Masyumi, dan seterusnya.

Dengan berkembangnya pendidikan serta kemajuan di sektor informasi,
preferensi politik tersebut pastilah mengalami transformasi. Namun, hampir
bisa dipastikan latar belakang etnik tetaplah dominan. Dan ini bukanlah
pertanda ancaman bagi kesatuan dan persatuan, atau belum berkembangnya
masyarakat kita dari tatanan agraris yang kuno.
Di negara-negara maju latar belakang etnik tetap diperhitungkan sebagai
faktor yang mempengaruhi pilihan politik dalam setiap pemilu. Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari seperti di AS dan Eropa, pengelompokan etnik tampak
secara kasat mata, termasuk dalam hal pengelompokan permukiman. Banyak
kelompok etnik di sini berusaha untuk memperjuangkan otonomi. Kecuali di
Irlandia Utara dan Spanyol (kelompok Basque), mereka menjauhi jalan
kekerasan. Seperti Hawaii di AS, misalnya.
Di Swiss, nasionalisme masih tanda tanya karena warganya terbelah dalam
identitas masing-masing. Yakni, Italia, Perancis, dan Jerman. Mereka lebih
cenderung menggunakan bahasanya sendiri. Di Kanada dan Perancis,
pengelompokan dan stratifikasi sosial berdasarkan agama, ras, bahasa,
maupun latar belakang suku bangsa, masih terus mewarnai percaturan politik.
Sedang di Belgia, tiga partai politik utama adalah jembatan pengelompokan
orang-orang yang berlatar belakang Fleming dan Walloon. Mereka lebih
gembira disebut sebagai orang Fleming atau Walloon ketimbang Belgia.
Keadaan seperti ini jauh lebih menonjol di Asia dan Afrika, ujar Prof
Donald L Horowitz dalam tulisannya, Community Conflict: Policy and
Possibilities. Dengan mengambil kasus sejumlah negara ia berpendapat,
dibutuhkan waktu ratusan tahun untuk melahirkan suatu entitas nasional yang
utuh. Jika dikaitkan dengan Indonesia yang baru berusia 55 tahun, maka
wajarlah jika kita mawas diri.
***
SETELAH rontoknya Orde Baru, nasionalisme dan integrasi nasional yang kerap
dibanggakan pejabat dalam setiap acara resmi, terasa hambar. Sebab,
tiba-tiba saja keseimbangan hubungan antar-etnik menjadi sangat rawan, dan
setiap saat bisa berubah menjadi konflik terbuka, komunal yang
membahayakan, yang jika dibiarkan akan dan mengarah cenderung ke arah
genocide.
Hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dengan luar Pulau Jawa juga
makin goyah. Beberapa propinsi malah sudah bulat tekadnya untuk keluar dari
negara kesatuan RI. Sekarang referendum menjadi sebuah kata yang nyaris
sama saktinya dengan persatuan dan kesatuan di masa Orde Lama dan Orde Baru.
Di tengah badai krisis ekonomi yang belum pulih sejak tiga tahun silam,
situasi demikian terasa amat sangat membahayakan. Di mana-mana orang
melihat perpecahan bisa setiap saat menjungkirbalikkan integrasi nasional.
Masa depan makin tidak menentu. Sedang keamanan menjadi amat mahal di saat
amok massa lebih dominan ketimbang penegakan hukum. Berlindung di bawah
payung kelompok etnik menjadi pilihan saat anarki mulai merebak. Sebaliknya
hal ini akan mempercepat proses ke arah polarisasi.
Namun, sesungguhnya konflik etnik bukanlah sesuatu yang berseberangan
dengan peradaban modern. Pakar sosiologi konflik secara mengejutkan
membuktikan bahwa konflik tersebut justru banyak lahir di tengah akibat
arus modernisasi tersebut. Di zaman kuno, misalnya, tidak terdengar adanya
konflik tersebut, kecuali dalam masyarakat berburu atau bertani secara
berpindah-pindah, yang berperang memperebutkan daerah perburuan. Bahkan di
era kolonial, hubungan etnik bahkan seolah bisa "harmonis" dengan adanya
legitimasi atas dalam pengelompokan pada strata-strata sosial tertentu.

Memasuki abad ke-20, perang yang meningkat hingga pada upaya pemusnahan
etnik mulai bermunculan di berbagai belahan dunia, khususnya yang dilakukan
Nazi Jerman terhadap warga Yahudi. Sedikit agak mereda ketika Perang
Dingin. Terlebih lagi jargon internasionalisasi yang digaungkan blok
sosialis cenderung membela hak-hak kelompok minoritas. Namun, usai Perang
Dingin, terakhir disusul rontoknya tembok Berlin, konflik tersebut
meningkat tajam. Negara-negara satelit mereka di Afrika turut mengalami
guncangan demikian. Termasuk Ethiopia, Sudan, dan Angola.
Negara-negara yang tadinya masuk kubu blok sosialis tersebut, melakukan
modernisasi di berbagai sektor setelah menyadari jauh tertinggal oleh
"negara kapitalis" yang dimotori AS. Modernisasi sejauh, seperti
dikemukakan Fred W Riggs dalam tulisannya The Para-Modern Context of Ethnic
Nationalism, sejauh menyangkut nasionalisme, industrialisasi, dan
demokratisasi, merupakan lahan subur bagi konflik komunal.
Ketika kelompok yang satu merasa diperlakukan tidak adil dalam distribusi
sumber-sumber ekonomi maupun politik, nasionalisme itu dipertanyakan.
Sebaliknya pemerintahan transisisonal dengan jargon nasionalisme, acapkali
menjadikan golongan minoritas sebagai kambing hitam berbagai masalah dalam
negeri. Ini akan melahirkan perlawanan, yang dalam perjalanan waktu akan
berubah menjadi konflik terbuka.
Prof Huntington, pakar ilmu politik dan sejarawan, membuat prediksi
berdasarkan kurva siklus sejarah bahwa di era milenium ini konflik agama,
maupun nasionalisme lokal yang dibalut agama, akan sangat dominan. Hal yang
sama juga dikemukakan Prof Alvin Toffler dalam Gelombang Ketiga.
Tidak ada menyangka perang agama dan suku justru terjadi begitu dahsyat di
Eropa. Kemudian suatu negara terbelah menjadi sejumlah negara berdasarkan
klaim teritorial minoritas. Kita sungguh-sungguh berada di abad yang penuh
dengan hal-hal yang tadinya dianggap mustahil.
Dunia berubah begitu cepat. Sekarang banyak pengamat was was, khawatir hulu
ledak nuklir yang banyak tersimpan di negara-negara eks Uni Soviet ikut
digunakan dalam perang yang berkecamuk di sana. Sekarang pusat bahaya bukan
lagi pada konflik terbuka negara-negara adikuasa, seperti halnya tahun
1980-an ke bawah, tetapi justru pada perselisihan terbuka negara-negara
baru yang penduduknya sedikit, seperti Ukraina, misalnya.
Berbarengan dengan terbukanya dunia dari segala tembok dan benteng ideologi
Perang Dingin, nasionalisme palsu rontok dengan sendirinya. Perang yang
bergulir menenggelamkan identitas Yogoslavia, Uni Soviet, dan sejumlah
negara lain. Sebaliknya di negara yang begitu "beradab" seperti Jerman,
Perancis, dan Inggris, muncul barisan ultranasionalis.
***
DI Indonesia, persoalan menyangkut integrasi nasional selalu dilihat dari
kaca mata normatif. Sisa dimensi mistik kultur Jawa masih hidup dalam
nalar penguasa di Jakarta. Sehingga ucapan selalu dianggap lebih dominan
ketimbang kenyataan. Dengan kalimat "ada provokator atau skenario di balik
peristiwa itu," persoalan ini pun dianggap "tuntas."
Padahal dengan diabaikannya hak putra daerah menjadi bupati dan memimpin
daerah itu, sentimen etnik akan membentuk prasangka-prasangka negatif dan
ancaman yang datang dari kelompok "mereka." Ketegangan akan terjadi dalam
hubungan sosial. Sedikit saja ada penyulutnya segera berubah menjadi
konflik terbuka. Hal seperti inilah yang terjadi di berbagai daerah,
termasuk Poso, Maluku, Kalbar. Belum lagi dalam kaitannya dengan akses
terhadap sumber-sumber ekonomi.
Persoalannya, apakah kita siap dan dapat memahami hal ini dengan lapang
dada? Robert J Antonio dalam tulisannya After Postmodernism: Reactionary
Tribalism, melihat kegagalan sistem kapitalisme maupun modernisasi membawa
keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, akan menimbulkan kekecewaan umum
dan mendorong orientasi mereka pada kelompok-kelompok etnik. Lantas
globalisasi atau dunia tanpa mengenal batas wilayah ini bukanlah puncak
peradaban manusia.
Kita sedang berjalan menuju pusaran itu.


DEFERENSIASI DAN STRATIFIKASI SOSIAL

BESERTA PENGARUHNYA

Lia prastyawati

06413241025

PROGRAM PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Kalau kita memperhatikan masyarakat di sekitar kita, ada banyak sekali perbedaan-perbedaan yang kita jumpai. Perbedaan-perbedaan itu antara lain dalam agama, ras, etnis, clan (klen), pekerjaan, budaya, maupun jenis kelamin. Perbedaan-perbedaan itu tidak dapat diklasifikasikan secara bertingkat/vertical seperti halnya pada tingkatan dalam lapisan ekonomi, yaitu lapisan tinggi, lapisan menengah dan lapisan rendah. Perbedaan itu hanya secara horisontal. Perbedaan seperti ini dalam sosiologi dikenal dengan istilah Diferensiasi Sosial.

Sedangkan perebedaan yang ditimbulkan karena adanya tingkatan-tingkatan dalam ekonomi, kasta, status dan peranan dimasukan dalam lapisanb bertingkat atau yang sering kita sebut dengan stratifikasi sosial.

2. BATASANAN MASALAH

1. Pengertian deferensiasi sosial dan stratifikasi sosial

2. Perbedaan deferensiasi sosial dan stratifikasi sosial

3. Ciri-ciri yang mendasari diferensiasi sosial

4. Bentuk-bentuk deferensiasi sosial

5. Sebab-sebab terjadinya stratifikasi sosial

6. Proses terjadinya stratifikasi soasial

7. Kriteria dasar penentu stratifikasi sosial

8. Sifat stratifikasi sosial

9. Fungsi stratifikasi sosial

BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN DIFERENSIASI DAN STRATIFIKASI

Diferensiasi adalah klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan yang biasanyasama. Pengertian sama disini menunjukkan pada penggolongan atau klasifikasi masyarakat secara horisontal, mendatar, atau sejajar. Asumsinya adalah tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi daripada golongan lainnya.

Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin “stratum” (tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat.

Beberapa definisi stratifikasi sosial :

a. Pitirim A. Sorokin

Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarki).

b. Max Weber

Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege dan prestise.

c. Cuber

Mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda.

2. PERBEDAAN DIFERENSIASI SOSIAL DAN STRATIFIKASI SOSIAL

DIFERENSIASI SOSIAL

STRATIFIKASI SOSIAL

1. Pengelompokan secara horizontal

2. Berdasarkan ciri dan fungsi

3. Distribusi kelompok

4. Genotipe Stereotipe

5. Kriteria biologis/fisik sosiokultural

Pengelompokan secara vertikal

Berdasarkan posisi, status,

kelebihan yang dimiliki, sesuatu

yang dihargai.

Distribusi hak dan wewenang

Kriteria ekonomi, pendidikan,

kekuasaan, kehormatan

3. CIRI YANG MENDASARI DIFERENSIASI SOSIAL

Diferensiasi sosial ditandai dengan adanya perbedaan berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Ciri Fisik

Diferensiasi ini terjadi karena perbedaan ciri-ciri tertentu.

Misalnya : warna kulit, bentuk mata, rambut, hidung, muka, dsb.

b. Ciri Sosial

Diferensiasi sosial ini muncul karena perbedaan pekerjaan yang menimbulkan cara pandang dan pola perilaku dalam masyarakat berbeda. Termasuk didalam kategori ini adalah perbedaan peranan, prestise dan kekuasaan.

Contohnya : pola perilaku seorang perawat akan berbeda dengan seorang karyawan kantor.

c. Ciri Budaya

Diferensiasi budaya berhubungan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat menyangkut nilai-nilai yang dianutnya, seperti religi atau kepercayaan, sistem kekeluargaan, keuletan dan ketangguhan (etos). Hasil dari nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dapat kita lihat dari bahasa, kesenian, arsitektur, pakaian adat, agama, dsb.

4. BENTUK-BENTUK DIFERENSIASI SOSIAL

Pengelompokan masyarakat membentuk delapan kriteria diferensiasi sosial.

a. Diferensiasi Ras

Ras adalah suatu kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri fisik bawan yang sama. Diferensiasi ras berarti pengelompokan masyarakat berdasarkan ciri-ciri fisiknya, bukan budayanya.

Secara garis besar, manusia dibagi ke dalam ras-ras sebagai berikut :

1) Menurut A.L. Krober

• Austroloid, mencakup penduduk asli Australia (Aborigin)

• Mongoloid

- Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah dan Asia Timur)

- Malayan Mongoloid (Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Filiphina,

penduduk asli Taiwan)

- American Mongoloid (penduduk asli Amerika)

• Kaukasoid

- Nordic (Eropa Utara, sekitar L. Baltik)

- Alpine (Eropa Tengah dan Eropa Timur)

- Mediteranian (sekitar L. Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arab, Iran)

- Indic (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Langka)

• Negroid

- African Negroid (Benua Afrika)

- Negrito (Afrika Tengah, Semenanjung Malaya yang dikenal dengan

nama orang Semang, Filipina)

- Melanesian (Irian, Melanesia)

• Ras-ras khusus (tidak dapat diklasifikasikan ke dalam empat ras pokok)

- Bushman (gurun Kalahari, Afrika Selatan)

- Veddoid (pedalaman Sri Langka, Sulawesi Selatan)

- Polynesian (kepulauan Micronesia dan Polynesia)

- Ainu (di pulau Hokkaido dan Karafuto Jepang)

Gb.1 Macam-macam Ras Tinggal di Dunia

2) Menurut Ralph Linton

• Mongoloid, dengan ciri-ciri kulit kuning sampai sawo matang, rambut lurus, bulu badan sedikit, mata sipit (terutama Asia Mongoloid). Ras Mongoloid dibagi menjadi dua, yaitu Mongoloid Asia dan Indian. Mongoloid Asia terdiri dari Sub Ras Tionghoa (terdiri dari Jepang, Taiwan, Vietnam) dan Sub Ras Melayu. Sub Ras Melayu terdiri dariMalaysia, Indonesia, dan Filipina. Mongoloid Indian terdiri dari orangorang Indian di Amerika.

• Kaukasoid, memiliki ciri fisik hidung mancung, kulit putih, rambut pirang sampai coklat kehitam-hitaman, dan kelopak mata lurus. Ras ini terdiri dari Sub Ras Nordic, Alpin, Mediteran, Armenoid dan India.

• Negroid, dengan ciri fisik rambut keriting, kulit hitam, bibir tebal dan kelopak mata lurus. Ras ini dibagi menjadi Sub Ras Negrito, Nilitz, Negro Rimba, Negro Oseanis dan Hotentot-Boysesman.

b. Diferensiasi Suku Bangsa (Etnis)

Menurut Hassan Shadily MA, suku bangsa atau etnis adalah segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan biologis. Diferensiasi suku bangsa merupakan penggologan manusia berdasarkan ciri-ciri biologis yang sama, seperti ras. Namun suku bangsa memiliki ciri-ciri paling mendasar yang lain, yaitu adanya kesamaan budaya. Suku bangsa memiliki kesamaan berikut :

- ciri fisik - kesenian

- bahasa daerah - adat istiadat

Suku bangsa yang ada di Indonesia antara lain :

- di Pulau Sumatera : Aceh, Batak, Minangkabau, Bengkulu, Jambi,Palembang, Melayu, dsb.;

- di Pulau Jawa : Sunda, Jawa, Tengger, dsb.;

- di Pulau Kalimantan : Dayak, Banjar, dsb.;

- di Pulau Sulawesi : Bugis, Makasar, Toraja, Minahasa, Toli-toli,

Bolaang-Mangondow, Gorontalo, dsb.;

- di Kep. Nusa Tenggara : Bali, Bima, Lombok, Flores, Timor, Rote, dsb.;

- di Kep. Maluku dan : Ternate, Tidore, Dani, Asmat, dsb.

c. Diferensiasi Klen (Clan)

Klen (Clan) sering juga disebut kerabat luas atau keluarga besar. Klen merupakan kesatuan keturunan (genealogis), kesatuan kepercayaan (religiomagis) dan kesatuan adat (tradisi). Klen adalah sistem sosial yang 10 berdasarkan ikatan darah atau keturunan yang sama umumnya terjadi pada masyarakat unilateral baik melalui garis ayah (patrilineal) maupun garis ibu (matrilineal).

• Klen atas dasar garis keturunan ayah (patrilineal) antara lain terdapat pada:

- Masyarakat Batak (dengan sebutan Marga)

- Marga Batak Karo : Ginting, Sembiring, Singarimbun, Barus, Tambun,

Paranginangin;

- Marga Batak Toba : Nababan, Simatupang, Siregar;

- Marga Batak Mandailing : Harahap, Rangkuti, Nasution, Batubara, Daulay.

- Masyarakat Minahasa (klennya disebut Fam) antara lain :

Mandagi, Lasut, Tombokan, Pangkarego, Paat, Supit.

- Masyarakat Ambon (klennya disebut Fam) antara lain :

Pattinasarani, Latuconsina, Lotul, Manuhutu, Goeslaw.

- Masyarakat Flores (klennya disebut Fam) antara lain Fernandes, Wangge, Da

Costa, Leimena, Kleden, De- Rosari, Paeira.

• Klen atas dasar garis keturunan ibu (matrilineal) antara lain terdapat pada masyarakat Minangkabau, Klennya disebut suku yang merupakan gabungan dari kampuang-kampuang. Nama-nama klen di Minangkabau antara lain : Koto, Piliang, Chaniago, Sikumbang, Melayu, Solo, Dalimo, Kampai, dsb. Masyarakat di Flores, yaitu suku Ngada juga menggunakan sistem Matrilineal.

Gb.2 Suku Batak salah satu suku diIndonesia yang memakai sistem patrilineal

d. Diferensiasi Agama

Menurut Durkheim agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci. Agama merupakan masalah yang essensial bagi kehidupan manusia karena menyangkut keyakinan seseorang yang dianggap benar. Keyakinan terhadap agama mengikat pemeluknya secara moral. Keyakinan itu membentuk golongan masyarakat moral (umat). Umat pemeluk suatu agama bisa dikenali dari cara berpakaian, cara berperilaku, cara beribadah, dan sebagainya. Jadi diferensiasi agama merupakan pengelompokan masyarakat berdasarkan agama atau kepercayaannya.

1) Komponen-komponen Agama

Emosi keagamaan, yaitu suatu sikap yang tidak rasional yang mampu menggetarkan jiwa misalnya sikap takut bercampur percaya.

Sistem keyakinan, terwujud dalam bentuk pikiran/gagasan manusia seperti keyakinan akan sifat-sifat Tuhan dalam wujud alam gaib/ kosmologi, masa akhirat, cincin sakti, roh nenek moyang, dewa-dewa dan sebagainya.

Upacara keagamaan, yang berupa bentuk ibadah kepada Tuhan, dewa-dewa dan roh nenek moyang

Tempat ibadah, seperti Mesjid, Gereja, Pura, Wihara, Kuil, Klenteng.

Umat, yakni anggota salah satu agama yang merupakan kesatuan sosial

2) Agama dan Masyarakat

Dalam perkembangannya agama mempengaruhi masyarakat dan demikian juga masyarakat mempengaruhi agama atau terjadi interaksi yang dinamis. Di Indonesia kita mengenal agama Islam, agama Katolik, Protestan, Budha dan Hindhu. Dusamping itu berkembang pula agama atau kepercayaan lain, seperti Khong Hu Chu, Aliran Kepercayaan, Kaharingan dan kepercayaan-kepercayaan asli lainnya.

Gb. 3 Di sinilah berbagai umat melaksanakan ibadahnya

e. Diferensiasi Profesi (pekerjaan)

Profesi atau pekerjaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan manusia sebagai umber penghasilan atau mata pencahariannya. Deferensiasi profesi merupakan pengelompokan masyarakat didasarkan ada jenis pekerjaan atau profesinya biasanya berkaitan dengan keterampilan khusus. Misalnya guru memerlukan keterampilan khusus seperti pandai berbicara,suka membimbing, sabar, dsb. Berdasarkan perbedaan profesi kita mengenal kelompok masyarakat, berprofesi seperti guru, dokter, pedagang, buruh, pegawai negeri, tentara, dan sebagainya.

Perbedaan profesi biasanya juga akan berpengaruh pada perilaku sosialnya. Contohnya:perilaku seorang guru akan berbeda dengan seorang dokter ketika keduanya melaksanakan pekerjaannya.

f. Diferensiasi Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan kategori dalam masyarakat yang didasarkan pada perbedaan seks atau jenis kelamin (perbedaan biologis). Perbedaan biologis ini dapat kita lihat dari struktur organ reproduksi, bentuk tubuh, suara, dan sebagainya. Atas dasar itu, terdapat kelompok masyarakat laki-laki atau pria dan kelompok perempuan atau wanita.

g. Diferensiasai Asal Daerah

Diferensiasi ini merupakan pengelompokan manusia berdasarkan asal daerah atau tempat tinggalnya, desa atau kota. Terbagi menjadi:

- masyarakat desa : kelompok orang yang tinggal di pedesaan atau berasal dari desa;

- masyarakat kota : kelompok orang yang tinggal di perkotaan atau berasal dari kota.

Perbedaan orang desa dengan orang kota dapat kita temukan dalam hal-hal

berikut ini :

- perilaku

- tutur kata

- cara berpakaian

- cara menghias rumah, dsb.

h. Diferensiasi Partai

Demi menampung aspirasi masyarakat untuk turut serta mengatur negara/ berkuasa, maka bermunculan banyak sekali partai. Diferensiasi partai adalah perbedaan masyarakat dalam kegiatannya mengatur kekuasaan negara, yang berupa kesatuan-kesatuan sosial, seazas, seideologi dan sealiran.

5. SEBAB-SEBAB TERJADINYA STRATIFIKASI SOSIAL

Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat/seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.

Seseorang yang mempunyai tugas sebagai pejabat/ketua atau pemimpin pasti menempati lapisan yang tinggi daripada sebagai anggota masyarakat yang tidak mempunyai tugas apa-apa. Karena penghargaan terhadap jasa atau pengabdiannya seseorang bisa pula ditempatkan pada posisi yang tinggi, misalnya pahlawan, pelopor, penemu, dan sebagainya. Dapat juga karena keahlian dan ketrampilan seseorang dalam pekerjaan tertentu dia menduduki posisi tinggi jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak mempunyai ketrampilan apapun.

6. PROSES TERJADINYA STRATIFIKASI SOSIAL

Stratifikasi sosial terjadi melalui proses sebagai berikut:

a. Terjadinya secara otomatis, karena faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir. Misalnya, kepandaian, usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat.

b. Terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti : pemerintahan, partai politik, perusahaan, perkumpulan, angkatan bersenjata.

7. KRITERIA DASAR PENENTU STRATIFIKASI SOSIAL

Kriteria atau ukuran yang umumnya digunakan untuk mengelompokkan para anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan tertentu adalah sebagai berikut :

a. Kekayaan

Kekayaan atau sering juga disebut ukuran ekonomi. Orang yang memiliki harta benda berlimpah (kaya) akan lebih dihargai dan dihormati daripada orang yang miskin.

b. Kekuasaan

Kekuasaan dipengaruhi oleh kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat. Seorang yang memiliki kekuasaan dan wewenang besar akan menempati lapisan sosial atas, sebaliknya orang yang tidak mempunyai kekuasaan berada di lapisan bawah.

c. Keturunan

Ukuran keturunan terlepas dari ukuran kekayaan atau kekuasaan. Keturunan yang dimaksud adalah keturunan berdasarkan golongan kebangsawanan atau kehormatan. Kaum bangsawan akan menempati lapisan atas seperti gelar :

- Andi di masyarakat Bugis,

- Raden di masyarakat Jawa,

- Tengku di masyarakat Aceh, dsb.

d. Kepandaian/penguasaan ilmu pengetahuan

Seseorang yang berpendidikan tinggi dan meraih gelar kesarjanaan atau yang memiliki keahlian/profesional dipandang berkedudukan lebih tinggi, jika dibandingkan orang berpendidikan rendah. Status seseorang juga ditentukan dalam penguasaan pengetahuan lain, misalnya pengetahuan agama, ketrampilan khusus, kesaktian, dsb.

8. SIFAT STRATIFIKASI SOSIAL

Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedak menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran.

a. Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Social Stratification)

Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja.

Contoh:

- Sistem kasta. Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana.

- Rasialis. Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih.

- Feodal. Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan/majikan.

b. Stratifikasi Sosial Terbuka (Opened Social Stratification)

Stratifikasi ini bersifatdinamis karenamobilitasnya sangatbesar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal.

Contoh:

- Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya.

- Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperolehpendidikan asal ada niat dan usaha.

c. Stratifikasi Sosial Campuran

Stratifikasi sosial campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya,seorang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.

9. Fungsi Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial dapat berfungsi sebagai berikut :

a. Distribusi hak-hak istimewa yang obyektif, seperti menentukan penghasilan,tingkat kekayaan, keselamatan dan wewenang pada jabatan/pangkat/ kedudukan seseorang.

b. Sistem pertanggaan (tingkatan) pada strata yang diciptakan masyarakat yang menyangkut prestise dan penghargaan, misalnya pada seseorang yangmenerima anugerah penghargaan/ gelar/ kebangsawanan, dan sebagainya.

c. Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapat melalui kualitas pribadi,keanggotaan kelompok, kerabat tertentu, kepemilikan, wewenang atau kekuasaan.

d. Penentu lambang-lambang (simbol status) atau kedudukan, seperti tingkah\ laku, cara berpakaian dan bentuk rumah.

e. Tingkat mudah tidaknya bertukar kedudukan.

f. Alat solidaritas diantara individu-individu atau kelompok yang menduduki sistem sosial yang sama dalam masyarakat.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Diferensiasi adalah klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan yang biasanyasama. Pengertian sama disini menunjukkan pada penggolongan atau klasifikasi masyarakat secara horisontal, mendatar, atau sejajar. Asumsinya adalah tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi daripada golongan lainnya.

Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin “stratum” (tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti berlapis-lapis. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat

Diferensiasi sosial ditandai dengan adanya perbedaan berdasarkan ciri-ciri sebagai berikut: ciri fisik, ciri sosial, dan ciri budaya.

Bentuk-bentuk dari diferensiasi sosial adalah diferensiasi ras, diferensiasi suku bangsa (etnis), diferensiasi klen (clan), diferensiasi agama, diferensiasi profesi (pekerjaan), diferensiasi jenis kelamin, diferensiasai asal daerah, diferensiasi partai.

Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat/seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.

Kriteria dasar penentu stratifikasi sosial adalah kekayaan, kekuasaan, keturunan, kepandaian/penguasaan ilmu pengetahuan. Sifat stratifikasi sosial adalah stratifikasi sosial tertutup (closed social stratification), stratifikasi sosial terbuka (opened social stratification)Stratifikasi Sosial Campuran

Daftar Pustaka

Drs. Nursal Luth & Drs. Daniel Fernandez.1989. Sosiologi dan Antropologi jilid 1.PT. Galaxy Puspa Mega : Jakarta

Drs. Nursal Luth.1992. Kamus Sosiologi dan Antropologi. PT. Galaxy Puspa Mega : Jakarta.

http://www.dikmenum.go.id/elearning/bahan/kelas2/images/DIFERENSIASI%20SOSIAL%20DAN%20%20SRATIFIKASI%20SOSIAL.pdf


http://rapolo.wordpress.com/2008/05/04/kosmologi-masyarakat-batak/

Kosmologi Masyarakat Batak

Antara berpuluh-puluh suku kaum bangsa Melayu di Nusantara, masyarakat Batak adalah yang paling unik dengan sejarah budaya dan agama yang melingkarinya. Keunikan ini bukan sahaja kerana masyarakat Batak disinonimkan sebagai ‘masyarakat Kanibal’ tetapi kerana masyarakat Batak mempunyai budaya dan tamadun yang tinggi disebalik amalan kanibalistik.

Tradisi masyarakat Batak di Nusantara mempunyai sejarah yang lama, menjangkau jauh sehingga lebih kurang 300 SM hingga 600 SM, bertumpu di Sumatra, Indonesia. Pada peringkat awal (abad pertama) Sumatra di kenali sebagai Swarnabumi (bumi emas) oleh pedagang India - sejajar dengan penjumpaan emas di sini. Minat pedagang India terhadap emas menyebabkan pedagang-pedagang ini berbaik-baik dengan masyarakat pribumi - Batak. Dari semasa kesemasa, adat dan budaya pedagang India dihamparkan kepada masyarakat Batak yang menerimanya dengan mudah. Dalam sedikit masa, budaya masyarakat Batak banyak meresap budaya dan adat Hindu.

Sehingga kini masyarakat Batak paling banyak terdapat di Sumatra, terutamanya di kawasan Tapanuli. Disamping Sumatra masyarakat Batak juga menghuni kawasan-kawasan lain Nusantara, terutamanya Pulau Jawa dan kepulauan lain Indonesia, Semenanjung Malaysia, Singapura, Sabah, Sarawak, Brunei, Filipina, Sulawesi dan sebagainya. Pola pergerakan masyarakat Batak dari Sumatra ke kawasan-kawasan lain di Nusantara dipengaruhi oleh dua faktor. Pertamanya, kedatangan penjajah barat ke Nusantara pada abad ke-17 dan keduanya, ‘adat merantau’ yang merupakan sebahagian daripada budaya masyarakat Batak.

Sebagai konsekuen penjajahan, sebilangan masyarakat Batak menjadi hamba abdi yang dijual dalam pasaran. Pada abad ke 19, penjualan hamba Batak adalah ghalib di Sumatra dan Nusantara umumnya. Lebih kurang 300 hingga 600 hamba Batak dijual di Singapura dan Pulau Pinang setiap tahun oleh Inggeris. Apa yang menarik ialah hamba-hamba Batak ini dijual oleh masyarakat Batak sendiri kepada Inggeris di Sumatra yang kemudiannya dijual di tempat-tempat lain.

Hasil daripada proses migrasi hamba Batak, berkembanglah populasi Batak di Malaysia, terutamanya di kawasan Utara Semenanjung Malaysia. Diskripsi fizikal masyarakat Batak yang gelap, berbadan tegap dan berambut kerinting dapat dikesan di Utara Semenanjung sehingga kini.

Namun dari segi keagamaan dan kepercayaan, masyarakat Batak di Malaysia sudah terpisah sama sekali daripada ikatan adat dan kepercayaan masyarakat Batak di Sumatra yang masih bersifat animistik dan Javaistik. Superioriti ‘adat’ digantikan dengan ‘agama Islam’ bagi masyarakat Batak di Malaysia. Natijahnya, corak hidup dan pemikiran masyarakat Batak di Malaysia, baik di Pulau Pinang, Perak, Pahang mahupun Kelantan tidak lagi merefleks budaya dan adat masyarakat Batak asal dari Sumatra.

Kajian ini menumpu kepada gambaran kosmologi Batak Sumatra, sebagai representatif masyarakat Batak Nusantara. Kosmologi masyarakat Batak di Malaysia adalah tidak lain daripada kosmologi Islam.

Berbalik kepada perkembangan budaya Batak. Menurut Edwin M. Loeb dalam bukunya ‘Sumatra : Its History and People’, masyarakat Batak mewarisi tradisi yang berupa adunan budaya setempat dengan agama-agama besar dunia yang merebak ke kawasan ini sejak abad pertama lagi. Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristianiti dan Taoisme, semuanya sampai ke Sumatra dahulu sebelum merebak ke tempat-tempat lain di Indonesia dan kepulauan Melayu yang lain.

Kehadiran budaya Hindu pada persekitaran abad pertama disusuli dengan kedatangan agama Buddha yang bersinskrit dengan agama Hindu dan kepercayaan lokal. Kemasukan Islam pada persekitaran abad ke 8 hingga 13 makin merencahkan lagi agama masyarakat Batak dan Sumatra umumnya, yang sudah
sedia bersinskrit dengan unsur-unsur lokal, Hinduisme dan Buddhoisme. Hasilnya, lahirlah ‘adat’, fenomena yang penting dalam kehidupan masyarakat Batak berbanding epistomologi agama.

Adalah tidak keterlaluan untuk dinyatakan bahawa masyarakat Batak secara umumnya memperolehi hampir kesemua fahaman spiritualnya dari India, terutamanya Hinduisme. Fahaman Hindu- Batak (pengadunan Hinduisme dengan kepercayaan lokal) kemudiannya merebak ke tempat-tempat lain di Indoensia.

Kata Loeb, antara beberapa elemen Hindu yang terdapat dalam kepercayaan Batak ialah idea ‘Pencipta’ dan ‘ciptaan’, stratifikasi syurga (langit), kebangkitan syurga (langit), nasib atau kedudukan roh selepas seseorang meninggal dunia, pengorbanan binatang, dan shamanisme (trans atau rasuk) sebenar-benarnya.

Fahaman keagamaan masyarakat Batak dapat dibahagikan kepada 3 bahagian: Kosmologi dan kosmogoni - dunia Tuhan (kedewaan) Konsep penduduk asal tentang roh. Kepercayaan tentang hantu, iblis dan nenek moyang.

Stratifikasi fahaman agama seperti di atas mirip kepada salah satu daripada fahaman Hindu. Orang Batak membahagikan kosmologinya kepada 3 bahagian. Bahagian atas adalah tempat bagi Tuhan dan Dewa. Bahagian tengah (dunia) untuk manusia dan bahagian bawah (bawah bumi) untuk yang mereka yang telah
mati - hantu, syaitan, iblis dan sebagainya.

Masyarakat Batak mempercayai kewujudan banyak Tuhan. Tuhan yang paling besar atau tertinggi kedudukannya ialah ‘Mula djadi na bolon’ - permulaan awal dan maha, atau ‘dia yang mempunyai permulaan dalam diriNya’. Konsep ini mempunyai persamaan dengan konsep ‘Brahman’ atau kala purusha Hindu.

‘Mula djadi na bolon’ berbentuk personal bagi masyarakat Batak dan tinggal di syurga yang tertinggi. Ia juga dihadiri oleh atribut-atribut ‘maha kebal’(immortality) dan ‘maha kuasa’ (omnipotence), justeru berupa pencipta segala-galanya dalam alam termasuk Tuhan. Dalam kata lain Mula djadi na bolon hadir dalam segala ciptaan.

Bersama-sama konsep Muladjadi na bolon - Tuhan Yang Maha Besar, masyarakat Batak secara pragmatiknya akrab dengan konsep Debata na tolu (Tiga Tuhan) atau apa yang dipanggil Tri-Murti atau Trinity dalam kosmologi Hindu.

Tiga prinsipal yang mewakili Debata na tolu ialah Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan. Batara Guru disamakan dengan Mahadewa (Shiva) manakala Soripata disamakan dengan Maha Vishnu. Hanya Mangalabulan mempunyai sejarah kelahiran yang agak kabur dan tidak memperlihatkan persamaan dengan
imej-imej kosmologi Hindu.

Antara tiga pinsipal ini, Batara Guru mempunyai kedudukan yang tinggi dan utama dikalangan masyarakat Batak, kerana sifatNya sebagai pencipta dan pada masa yang sama, hero kebudayaan yang mengajar kesenian dan adat kepada masyarakat Utara Sumatra ini.

Mangalabulan sebaliknya adalah prinsipal yang agak kompleks kerana disebalik merahmati dan menunaikan kebaikan dan kebajikan, Mangalabulan juga melakukan kejahatan atas permintaan, lantas menjadi Tuhan pujaan dan penaung bagi perompak dan pencuri - penjenayah secara umumnya.

Disamping tiga prinsipal utama ini - Debata na tolu, masyarakat Batak juga mempunyai banyak debata atau Tuhan yang lebih rendah stratifikasinya, misalnya debata idup (Tuhan Rumah), boraspati ni tano (spirit bumi/tanah) dan boru saniang naga (spirit air), Radja moget pinajungan (penjaga pintu syurga), Radja Guru (menangkap roh manusia) - tugasnya sama seperti malaikat Izarail dalam epistomologi Islam atau Yama dalam Hinduisme.

Debata adalah derivasi Sanskrit, deivatha. Dalam epistomologi Batak, debata mewakili Tuhan.Masyarakat Batak, seperti masyarakat Hindu, menerima kehidupan dalam nada dualiti. Kebaikan dan kejahatan saling wujud dalam kehidupan, dengan kebaikan menjadi buruan ultimat manusia.

Prinsipal jahat bagi masyarakat Batak ialah Naga Padoha, prinsipal yang terdapat pada aras paling bawah dalam hieraki tiga alam - iaitu di bawah bumi. Bersama-sama Naga Padoha ialah cerita bagaimana anak Batara Guru, Baro deak pordjar yang enggan mengadakan hubungan dengan Mangalabulan di langit, turun ke lautan primodial (sebelum bumi dicipta). Apabila Batara Guru mengetahui insiden ini, dia menghantar segenggam tanah melalui burung layang-layang yang diletakkan pada lautan primodial. Hasilnya terjadilah
bumi. Kemudian, dicipta pula tumbuhan, binatang dan haiwan. Hasil daripada hubungan anak Batara Guru dengan seorang hero dari langit (dihantar oleh Batara Guru) lahir generasi manusia.

Naga Padaho yang asalnya berkedudukan di lautan primodial telah disempitkan kedudukannya kerana pembentukkan dan perkembangan bumi dari semasa ke semasa. Kerana kesempitan ini, setiap pergerakkan Naga Padaho mengakibatkan gempa bumi. Mitologi ini selari dengan konsep fatalistik Batak bahawa dunia
akan hancur pada satu masa nanti, apabila Naga Padaho berjaya membebaskan diri daripada himpitan Batara Guru.

Lee Khoon Choy, dalam bukunya Indonesia Between Myth and Reality mempunyai cerita asal usul dunia yang berbeza. Menurut Lee, pada awalnya terdapat satu Tuhan iaitu Ompung Tuan Bubi na Bolon - Tuhan omnipresent dan omnipotent. Ompung bermakna ‘moyang’. Semasa dia, Ompung Tuan Bubi na Bolon bersandar pada sebatang pohon banyan (beringin atau wiringin), ranting yang reput patah dan jatuh ke dalam laut. Ranting reput ini menjadi ikan dan hidupan air yang lain. Kemudian jatuh lagi ranting dan terciptalah serangga. Ranting ketiga yang jatuh membentuk binatang seperti rusa, monyet, burung dan
sebagainya. Ini disusuli dengan penciptaan kerbau, kambing, babi hutan dan sebagainya.

Hasil daripada perkhawinan dua ekor burung yang baru dicipta iaitu Patiaraja (lelaki) dan Manduangmandoing (perempuan) bermulanya kelahiran manusia daripada telur Manduangmandoing ketika berlakunya gempa bumi yang dasyat.

Meskipun berbeza dengan Loeb, mitos asal usul yang dibawa oleh Lee memperlihatkan persamaan pada dasarnya- asal usul manusia daripada telur dan pengaruh gempa bumi (karenah Naga Padoha).
Dilihat dari mata kasar, kisah asal usul ini berupa mitos yang tidak dapat diterima akal tetapi kekayaan mitos ini ialah, ia juga berupa alegori yang kaya dengan persoalan mistisisme, apabila dilihat dari perspektif intrinsik - hampir sama seperti peperangan dalam Mahabaratha dan Ramayana.
Apabila dikiaskan dengan mistisisme Hindu-Buddha, Naga padoha adalah tidak lain daripada Kundalini yang berkedudukan di tengah-tengah jasad manusia (dekat anus).

Dalam epistomologi Vaishnava (salah satu daripada aliran Hindu), avatara Maha Vishnu - Krishna Paramatma berlawan dengan Naga Kaliya, yang akhirnya tunduk kepada Krishna Paramatma. Secara intrinsik, alegori ini mengisahkan kejayaan Krishna Paramatma menawan nafsu (dilambangkan oleh naga/ular). Kalau Naga Padoha adalah Kundalini, bumi adalah jasad mansia, manakala Batara Guru adalah roh atau debata atau tondi yang hadir bersama-sama manusia apabila dicipta. Simbologi Naga (Ular) dalam mitologi Batak adalah universal sifatnya. Dalam epistomologi agama-agama Semitic, kita dapati watak ular diberikan pewarnaan hitam(jahat). Kisah pembuangan Adam dan Hawa (Eve) ke bumi adalah akibat hasutan ular terhadap Hawa yang kemudiannya menggoda Adam dengan kelembutannya.

Ironinya, masyarakat Batak percaya suatu masa nanti dunia akan hancur apabila Naga padoha bangun memberontak. Tetapi, selagi rahmat dan bimbingan Batara Guru masih ada pada manusia, selagi itu mereka akan dapat menundukkan Naga Padoha dan hidup dalam harmoni. Tidak hairanlah sekiranya Batara Guru
menjadi debata paling popular bagi masyarakat Batak dan Indonesia umumnya.

Koding, seorang lagi sejarahwan berpendapat terdapat banyak elemen identikal diantara mitologi Batak dengan Hindu. Boru deak pordjar - anak Batara Guru adalah Dewi Saraswati dalam Hinduimse. Batara Guru di samakan dengan Mahadewa (Shiva) dan juga dengan Manu - manusia pertama di bumi. Brahma dipersonifikasikan dengan watak Svayambhu - dia yang wujud daripada dirinya sendiri.

‘Telur dunia emas’ dari mana asalnya Svayambhu sebagai Brahman dan mencipta manusia dan Tuhan (tradisi Hindu), diubahsuai dalam mitologi Batak kepada tiga biji telur, dari setiap satunya lahir satu Tuhan. Justeru, ayam (manuk) yang melahirkan telur ini dianggap utama dalam kedudukan mitologi spiritual masyarakat Batak. Telur manuk (ayam) ini, dalam tradisi Tantrik dipanggil salangram atau speroid kosmik.
‘Roh’ adalah elemen terpenting agama dan adat masyarakat Batak. Konsep supernatural (mana) pula, hampir-hampir tidak wujud di sini. Konsep yang dominan dikalangan masyarakat Batak ialah tondi. Menurut Warneck, otoriti unggul kajian tentang masyarakat Batak, tondi ialah ‘spirit’ (tenaga halus), ‘roh manusia’, ‘individualiti manusia’ yang wujud sejak manusia berada dalam rahim ibunya lagi. Pada ketika ini ia menentukan masa depan anak yang bakal dilahirkan itu.

Tondi wujud hampir kepada badan dan sesekala meninggalkan badan. Peninggalan tondi menyebabkan orang berkenaan jatuh sakit. Justeru itu, pengorbanan dilakukan oleh seseorang untuk menjaga tondinya agar sentiasa berada dalam keadaan baik .Semua orang mempunyai tondi tetapi kekuasaan tondi berbeza daripada seorang dengan seorang yang lain. Hanya tondi tokoh-tokoh besar dan utama kedudukannya dalam masyarakat mempunyai sahala - kuasa supernatural (luar biasa atau semangat/keramat). Rasional kepada perbezaan ini sama dengan konsep fatalistik Hindu, yang beranggapan bahawa segala kecelakaan hidup telah ditetapkan sebelum lahir lagi dan tidak boleh dihindari. Kerana kelahiran adalah dalam kedudukan yang baik maka tondinya juga akan berada dalam kedudukan yang baik (berkuasa).

Bilangan tondi yang terdapat pada seseorang bervariasi daripada satu dan tujuh. Sebahagian masyarakat Batak percaya bahawa setiap orang hanya mempunyai satu tondi manakala sebahagian lain mengangkakan tujuh tondi bagi setiap individu.

Konsep lain berkaitan dengan tondi ialah begu (hantu atau iblis).

Begu ialah tondi orang mati. Bukan semua tondi adalah begu . Tondi yang natural tanpa perkaitan dengan kejahatan dikenali sebagai samaon. Setapak lebih tinggi daripada samaon ialah semangat atau debata (sama tahapnya dengan Tuhan) yang bervariasi mengikut fungsi dan kekuasaannya.
Shamanisme - tradisi menurunkan roh atau tondi orang yang sudah mati kedalam tubuh orang lain (yang masih hidup) yang dilakukan semata-mata untuk berkomunikasi dengan roh orang-orang yang sudah mati adalah tradisi yang paling popular di Utara Sumatra. Shaman (orang yang dituruni tondi atau ‘si baso’) terdiri daripada kedua-duanya, lelaki dan perempuan. Masyarakat Batak primitif yang tidak akrab dengan shamanisme (terutamanya di kepulauan Barat Sumatra) bergantung kepada dukun (seer - bahasa Inggeris atau ‘kavi’ - bahasa Sanskrit). Bezanya dukun dengan shaman, tondi (juga debata dan spirit) berkomunikasi secara personal dengan dukun. Dukun kemudian akan menyampaikan mesej wujud halus
(tondi, debata dan spirit) atau mengubat pesakit mengikut pesanan wujud halus.

Shaman pula hanya berfungsi sebagai media untuk membolehkan tondi berkomunikasi dengan orang-orang yang ingin berurusan dengannya. Perhubungan ‘tondi’ dengan orang yang memanggilnya adalah langsung, berbeza dengan hubungan melalui dukun (orang ketiga).

Dukun Batak biasanya lelaki dan dikenali sebagai datu. Meskipun dukun Batak tidak mempunyai satu sistem atau institusi bagi melatih datu - kelompok masyarakat ini menjadi penjaga dan bertanggungjawab memperturunkan ritual esoterik dan pembelajaran (spiritual) Hindu dan lokal dari generasi ke generasi. Seperkara yang menarik pada amalan masyarakat Batak ialah konsep melihat kehidupan pada detik ‘kini dan sini’(here and now). Mereka percaya tondi yang ada pada mereka perlu dijaga dan dihidupi dengan sebaik-baiknya di sini (dunia) dan kini (sekarang). Mereka tidak menunggu bagi masa akan datang untuk mendapat balasan. Konsep ini meskipun boleh dilihat dari perspektif eksistensialis, juga boleh dilihat dari sudut mistisisme.

Hampir kesemua aliran mistis (biar agama apa sekalipun) menekankan umatnya agar menghidupi kehidupan dengan sebaik mungkin. Biasanya, jalan tengah digunakan, yakni bukan bersandar kepada semalam yang sudah berlalu dan esok yang belum pasti, tetapi menghidupi detik-detik kini dalam nada ke’sahaja’an. Konsep roh di kalangan masyarakat Batak berligar kepada ‘tenaga’ atau ‘kuasa’. Tenaga ini sekiranya berada dalam keadaan harmonis akan membawa kepada kebaikan. Sebaliknya kalau dihampakan atau dimurkakan, akan memberi kesan buruk kepada kehidupan manusia dan alam.

Meski banyak mendapat pengaruh agama Hindu, kepercyaan masyarakat Batak mempunyai elemen lokalnya yang tersendiri seperti konsep tondi. Tondi masyarakat Batak tidak boleh disempitkan sebagai aura - lilitan tenaga yang sentiasa ada dikeliling manusia. Malah tondi juga tidak boleh dirumuskan sebagai roh yang terdapat dalam jasad manusia. Tondi adalah adunan beberapa fahaman daripada beberapa tradisi yang kemudiannya membentuk tradisi kosmologi Batak yang unik.

Entri ini ditulis oleh rap olo dan dikirimkan oleh Mei 4, 2008 at 7:02 am dan disimpan di bawah Adat Toba, Budaya dan Adat Batak, Kosmologi Masyarakat Batakdengan pengait kata (tags) Batak, Batara Guru, Boraspati, datu, debata idup, Debata na tolu, Mangalabulan, Mula djadi na bolon, Naga Padoha, Radja Guru, Radja moget, Saniang Naga, Soripada, Tondi. Tandai permalink. Telusuri setiap komentar di sini dengan RSS feed kiriman ini. Tulis komen atau tinggalkan trackback: URL Trackback.

About the author

This is the area where you will put in information about who you are, your experience blogging, and what your blog is about. You aren't limited, however, to just putting a biography. You can put whatever you please.